Secara normal Taehyung punya kecenderungan untuk memberontak. Maka melihatnya diam berpangku di atas sofa itu sejatinya adalah pemandangan yang cukup mengherankan. Dua kaki dan tangannya tersilang sedang pandangannya terlayang keluar jendela. Sesekali ia hanya akan memijit pelipisnya mendengar Seokjin dan Namjoon adu argumen.
Sikapnya yang tiba-tiba penurut ini bukannya tanpa sebab. Tapi ini sedikit kelewatan bagi Seokjin karena Taehyung bahkan tidak lagi menyumbang buah pikirnya, dia cuma mengangguk dan menerimanya.
Lalu apakah ini segalanya yang bisa Taehyung lakukan untuk memperjuangkan suara hati itu? He doesn't even look like himself these days.
Entahlah.
Rasanya cuma ini yang bisa Taehyung lakukan untuk gadis itu. Yang ia tidak mengerti adalah mengapa nama gadis itu masih saja menjadi topik yang tidak pernah dingin.
"Kenapa sih kita masih bicarakan Sana?" tanya Taehyung setelah lama membungkam mulut. "Aku bahkan sudah melepasnya,"
Lama-lama Taehyung jengah juga hanya menutup mulut sedang ia harus berbohong pada Sana dan menahan diri untuk tetap tegak menyaksikan luka itu menggelora.
"Belum selesai, Taehyung!" ujar Seokjin tenang.
"Kenapa? Karena kau tidak mau melepasnya?" gertaknya berani. "Aku bilang lepaskan Sana! Just fuckin' leave her alone, jerk!"
"Heh, jaga mulutmu, Taehyung!" Namjoon berujar tegas sedang Seokjin mengangkat tangannya pada Namjoon, berusaha menenangkan tensi yang mulai menukik tajam.
Obsidian Taehyung semakin pekat dengan sorot tajam terlayang pada Seokjin. Dadanya sesak pun otaknya buntu. Sudah cukup frustasi memikirkan cara agar Sana tidak berakhir seperti Jisoo. Harusnya opsi menjadikan Sana sebagai selir bisa jadi jawaban termudah saat ini, tapi sekali lagi komitmen masih kokoh di tempat pertama.
"Aku tidak akan melepasnya, aku sudah melamarnya!" jawab Seokjin membuat Namjoon sontak menatapnya tak percaya.
"Hyung!" pekik Taehyung. Namjoon memijat pelipisnya lantas ia usap wajahnya itu yang kepalang tegang.
"Kau melamarnya?" ulang Taehyung tak percaya. Sekarang tatapannya terlayang pada Namjoon berusaha menemukan kesamaan pikir. Ia yakin sekarang mereka tengah membayangkan seekor burung parkit dengan bulu indahnya terkurung dalam sangkar lalu ada Seokjin di sana bersiul-siul tanpa rasa sesal. Kurang lebih seperti itu yang terjadi jika Sana menikah dengan manusia sepenting Seokjin. Lebih buruknya dia akan jadi permaisuri yang tidak diakui.
Lantas apa bedanya dia dengan seorang selir?
"Kau benar-benar gila, Hyung!" komentar Taehyung setelah keluar dari imajinasinya yang liar. Hembus napas kasarnya terdengar, nyaris kehilangan akal sehat.
Di atas kursinya, Seokjin masih bisa menarik napas tenang. Jemarinya tertaut satu sama lain, cukup menantikan reaksi adiknya setelah ini.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" suaranya yang tenang sedikit banyak membuat Taehyung jengkel jujur saja.
"Kau benar-benar menaruh semua kesulitan ini padaku ya?" Tapi memang begitulah caranya menempa otak Taehyung dari kebebalan.
"Ayo... lakukan sesuatu dan lawan aku!" tantang Seokjin. Giliran Taehyung mendecih. Ia tahu darimana semua ini mengalir, tentu saja karena skema pernikahan yang sudah Taehyung tolak mentah-mentah.
**
Dua minggu ini memang berat bagi Sana karena memori malam pahit itu terus terngiang dan terkilas balik tanpa henti. Semua itu mencipta ilusi seolah memori buruknya menyegarkan diri setiap waktu. Untung saja Sana bertemu Yi-En yang sesekali menghiburnya di waktu senggang. Bahkan Sana masih memikirkan tawaran pria berdarah Tionghoa itu untuk melobi Kim bersaudara sehingga Sana bisa keluar dari Cedar Hedge sebelum Yi-En pindah kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cedar Hedge
Fanfiction[Completed] Awalnya Sana menjadi bagian dari Cedar Hedge karena terpaksa. Tapi di kesempatan berikutnya ia sadar, bahwa itu adalah hadiah untuknya. "Katakan selamat tinggal pada Pewter Dove, kau milik Cedar Hedge sekarang." kata Taehyung. Cedar Hedg...