Bab 2 : Rencana

29K 1.7K 11
                                    

Apa yang salah, kenapa ini bisa menimpanya, atau inikah sifat Zaky suaminya yang sebenarnya? Pertanyaan demi pertanyaan terus memenuhi pikirannya, sehingga wajahnya kembali terlihat kosong di mata Mak Jani.

"Kiran.."

Panggilan itu menyadarkan Kiran dari pikiran negatif yang terus berseliweran di kepalanya.

"Iya Mak." Balasnya dengan suara serak sehabis menangis.

"Kiran lagi tidak baik Mak, tapi maaf Kiran tak bisa cerita ke Mak, terima kasih sudah memeluk Kiran tadi. Pelukan itu bisa membuat Kiran sedikit tenang." Lanjutnya jujur.

Mak Jani mendudukkan Kiran ke sofa di ruang keluarga, mengambil segelas air putih lalu mengelus pelan punggung Kiran memberi sedikit kekuatan. Ia terus menatap Kiran dengan mata tuanya. Hanya ini saja yang bisa ia berikan untuk membantu majikannya.

"Mak pulang saja, tak apa. Kiran mau pergi juga kok." Ia tersenyum pelan ke Mak Jani, meyakinkan wanita itu bahwa ia baik-baik saja. Lagipula Mak Jani harus menjemput cucu laki-lakinya yang berumur 5 tahun yang di titip di rumah tetangga saat ia bekerja disini, orangtua cucunya bekerja di luar kota, hingga ia diminta anak dan menantunya itu untuk mengasuh.

Mak Jani menghela nafas pelan, "ya sudah Mak tinggal ya Kiran, mau jemput Igun dulu. Baik baik di sini, Mak doakan semoga masalah yang buat kamu menangis tadi selesai dengan baik." Mak Jani mengelus pelan bahu Kiran sebelum meninggalkannya.

Ponsel Zaky suaminya masih berada di tangannya. Perlahan setelah kesadaran pulih ia men-screenshoot pesan mereka, tak semuanya karena itu terlalu banyak dan isinya menjijikan untuk di baca, hanya percakapan yang isinya paling penting saja sebagai bukti perselingkuhan mereka lalu di kirim ke ponselnya.

Setelah agak tenang ia kembali ke kamar, membasuh wajahnya yang berantakan dengan air dingin untuk mengurangi bengkak sehabis menangis tadi. Mengompres bagian bawah matanya dengan kapas yang dicelupkan ke air dingin sebentar lalu mengulas kembali make up tipis setelah itu mengambil tas yang terletak di samping meja rias. Begitu membuka tasnya Kiran tertawa menyadari kebodohannya, ternyata dompet dan ponsel yang dicari dari tadi ada di dalam tasnya.

'Tak ada yang kebetulan'

Seketika ia teringat kalimat lama itu, lalu melangkah ke luar dari kamar. Begitu menutup pintu kamar, suara pintu samping dibuka terdengar, ia menguatkan hatinya karena tahu siapa yang masuk ke rumah dengan langkah tergesa seperti ini.

"Mas Zaky, tumben pulang jam segini?" Sapa Kiran menyambut suaminya dengan senyum dipaksakan.

Itu bukan basa-basi, karena kenyataannya suaminya itu selalu pulang ke rumahnya di atas jam 11 malam. Dan dari ponsel suaminya yang tertinggal itulah ia kini mengetahui yang sebenarnya. Bukan lembur atau sibuk seperti alasan yang selalu diutarakan suaminya. Kiran tersenyum kecut.

"Iya, ada yang ketinggalan tadi pagi." Zaky hendak melangkah menuju kamar mereka.

"Ini yang ketinggalan Mas?" Kiran mengangkat ponsel suaminya yang tadi ia simpan di dalam tas, lalu melihatkan ke arah suaminya.

Seketika langkah Zaky terasa berat. Pelan ia membalikkan tubuhnya yang membelakangi Kiran. Menatap ponsel yang tertinggal itu karena buru-buru berangkat tadi pagi. Sejak kemarin kantornya didatangi Satuan Pengawasan Internal (SPI), jadi pagi ini ia harus datang lebih awal untuk memberi kesan baik, agar tak menambah daftar 'temuan' dari petugas SPI.

Besok pemeriksaan di kantornya berakhir, lengkap dengan daftar temuan yang harus ia dan rekan sekantornya selesaikan, sebelum petugas SPI itu selesai dengan tugasnya.

Seketika tubuhnya membeku, melihat ponsel yang berada di tangan Kiran, istrinya. Mencoba meyakinkan diri bahwa rahasianya aman, Kiran tak akan bisa membuka ponselnya yang terkunci, dia melangkahkan kaki dengan pura pura  tenang menuju Kiran mengambil ponsel tersebut.

"Jadi ada yang bisa Mas jelaskan dari isi ponsel ini? WA dari seseorang istimewa misalnya?" Celetuk Kiran melihat gelagat suaminya.

Tangan Zaky terdiam kaku saat hendak mengambil ponsel yang hanya berjarak beberapa centi saja dari tangan Kiran, omongan Kiran yang tiba tiba itu membuat tubuhnya terasa dingin, keringat mengalir di sela dahi pertanda bahwa ia gugup.

Berhadapan dengan petugas SPI kemarin membuat ia jadi mudah gugup. Kekuatan intimidasi dari petugas tersebut membuat ia tak berkutik, menyadari kesalahan saat menjalankan tugasnya di kantor terbawa hingga sekarang. Dan sekarang kesalahannya yang lain dan kebohongan yang ia simpan apakah sudah terbongkar.

"WA.. WA istimewa apa sih Kiran, ada-ada saja kamu. Cepat kembalikan ponsel mas, mas masih harus balik lagi ini, masih ada SPI di kantor." Zaky menekan rasa gugupnya, sambil berusaha menggapai ponsel di tangan istrinya yang tampak di genggam agak erat oleh sang istri.

"WA dari 'Adel Sayang' mungkin salah satunya?" Tembak Kiran, seketika keringat makin deras mengalir di dahi dan pelipis suaminya.

Kiran tersenyum. "Gak nyangka ya Mas kalau aku bisa buka ponsel kamu yang terkunci? Gak nyangka kalau chat mesra bukti kebohongan dan perselingkuhan kamu setahun belakangan ini akhirnya terbongkar?"

"Ka.. kamu sudah tahu, ya sudah kalau begitu. Tak ada yang bisa mas jelaskan lagi." Jawab Zaky, menekan rasa gugup dan bersalahnya, ia bingung harus membela diri seperti apa, mengingat pikirannya sedang tak bisa fokus sekarang.

Begitu saja, bahkan suaminya itu tak merasa bersalah karena telah mengkhianatinya, menyakiti perasaannya, Kiran tak habis pikir. Ternyata 7 tahun bersama, masih belum mampu membuat ia mengenal sifat Zaky seluruhnya.

"Makasih atas kado ulang tahun pernikahan kelima kita Mas, aku tak menyangka kadonya dahsyat banget. Baru tahu aku kalau inilah kamu yang sebenarnya." Sarkas Kiran enggan memanggil nama suaminya.

"Ahh jangan jangan kamu lupa kalau malam ini ulang tahun pernikahan kita, maklum sibuk, lagi mesra-mesranya sama kesayangan. Menemaninya tiap malam soalnya muak lihat wajah tua istri yang cerewet dan menyebalkan." Sambungnya.

"Aku harus balik ke kantor sekarang. Nanti malam kita selesaikan semuanya." Alih Zaky, seraya melangkah keluar rumah.

"Oke, nanti malam aku tunggu kamu di kafe D'Rain jam 7. Ajak sekalian selingkuhan kamu. Kita selesaikan semuanya malam ini." Kiran mengepalkan tangan kuat. Sambil menahan genangan air mata yang mulai memaksa keluar.

Langkah kaki Zaky yang semakin menjauh ditambah suara pintu yang ditutup penanda bahwa lelaki itu telah pergi. Kiran terduduk di lantai sembari memukul dadanya, air mata yang ditahan itupun tumpah. Bagaimanapun ia seorang perempuan, hanya lewat air mata inilah rasa sesak yang tertahan di dadanya bisa diluapkan.

Namun kali ini tak terdengar Isakan. Kiran berusia 27 tahun sekarang, masih cukup muda memang mengingat ia menikah di usia 22 tahun. Meninggalkan masa muda, cita-cita dan impiannya demi menemani Zaky mengarungi kehidupan berumah tangga.

Namun siapa sangka akan seperti ini akhirnya. Menghabiskan waktu sebagai istri dan menuruti semua tuntutan Zaky, pelan-pelan mengubah karakternya, salah satunya menjadi lebih dewasa. Mungkin inilah kenapa ia tak meluap-luap, memaki, memukul membabi buta suami yang ia letakkan kepercayaan serta kesetiaan padanya.

Ada banyak cara elegan tanpa perlu mengotorkan tangannya. Yah, dia adalah wanita dewasa, jadi harus secara dewasa pula ia menghadapi kecurangan suaminya. Pelan Kiran bangkit mengatur rencana. Ia lalu menekan nomor di ponselnya, yang dijawab setelah dering ketiga.

"Halo sayang."

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang