Bab 8 : Awal yang baru

25.4K 1.6K 6
                                    

"Baju Ibu jaman gadis dulu masih ada yang bagus-bagus Nak, mau? Ada rok juga." Semangat Ibu, lalu menutup mulutnya, takut Kiran marah.

Karena Kiran suka kesal jika memakai barang bekas orang meskipun itu bekas Masnya, kecuali bekas Zaky pujaan hatinya.

"Mau Bu, setelah sarapan ya Kiran lihat."

Mata Ibu kembali berbinar, karena setelah sekian lama merasa sendirian sebagai perempuan di rumah ini, akhirnya kali ini ia merasa punya anak perempuan. Yang bisa didandani dan diajak menghabiskan waktu ala Ibu dan anak gadisnya.

Tanpa Kiran sadari, sang Ayah beberapa kali meliriknya. Perubahan ini sudah lama dia tunggu, karena selama ini dia selalu merasa punya dua anak lelaki bukan satu anak lelaki dan satu anak perempuan. Tapi tak di pungkiri perubahan ini aneh, tak biasanya sikap seseorang berubah hanya dalam waktu semalam.

Ayah masih ingat kemarin saat Kiran mengatakan ingin memberi kejutan, yah satu rumah dibuat kaget dengan tampilannya. Kemeja putih lengan panjang dipadu dengan rok span hitam selutut dan sepatu pantofel wanita dengan heels 5 cm.

Bukan itu letak masalahnya, karena tampilannya masih terlihat baik-baik saja minus kemeja putih besarnya, tapi gaya berjalan yang gagah dengan rambut lurus sebahu ditambah bedak putih tebal dan lipstik merah menyala membuat tampilan Kiran jadi terlihat aneh.

Saat sang Ibu menjelaskan dan ingin membantu merapikan penampilannya, Kiran malah marah dan tersinggung, merasa sikap orangtua dan kakaknya berlebihan, tak menghargai usahanya. Hingga saat pulang, wajah Kiran terlihat kusut, sekusut pakaian yang di kenakannya.

Sang Ibu yang datang ke kampus mengantar snack untuk dosen pembimbing dan penguji itu tanpa sengaja mengetahui penyebab wajah kusut itu, akhirnya memberitahu suaminya, jika ternyata Kiran diolok habis-habisan oleh teman dan semua dosennya. Beruntung Kiran salah satu siswa yang pandai jadi sidang berjalan dengan lancar walau ada sedikit revisi.

Sang Ayah berusaha menepis kecurigaan di hatinya, apapun yang terjadi sekarang patut disyukuri, walaupun ia tetap tak suka jika niat anaknya merubah penampilan demi pujian sang Pacar.

Entah kenapa walaupun sikap pacar Kiran itu tampak sopan dan baik, tapi kesannya tak tulus, seperti ingin cari muka, memperlihatkan ke keluarga Kiran bahwa Kiran beruntung berpacaran dengan dia, apalagi ditambah Kiran selalu menuruti dan mendengar omongannya.

Memang hanya beberapa kali pacar Kiran datang berkunjung, tapi kesan itu terlalu kuat di tangkap oleh orangtua Kiran. Bukan tak ingin memberi masukan ke anaknya, tapi Kiran anak yang keras kepala, agak emosian dan gampang merajuk. Setiap masukan yang di berikan orangtuanya seringkali di abaikan, karena di anggap terlalu mencampuri urusan pribadinya, dan seringkali berujung pertengkaran.

Ayahnya sudah pernah mencoba sedikit keras mendidiknya tapi yang ada anaknya malah semakin berontak, menjadi tomboy adalah salah satu bentuk protes Kiran akan sikap sang Ayah. Hanya sang pacar saja yang selalu di dengar omongannya, Zaky bilang begini, Zaky bilang begitu. Sang Ayah hanya berharap perubahan ini menjadi awal yang baik atas hubungan di keluarga mereka.

"Nih." Danu menaruh dua lembar uang kertas berwarna merah di depan Kiran setelah selesai makan.

"Pakai yang bener, banyak itu." Tambahnya berpesan.

"Ahh makasi Mas, Mas Danu baik deh." Balas Kiran dengan senyum sumringah.

"Kalau ada maunya aja muji. Ck.." Decih Danu.

"Tapi ingat, jangan dandan kayak kemarin lagi, bisa jantungan orang-orang nanti lihat kamu." Tambahnya.

"Dan semoga seterusnya seperti ini ya Nak." Sambung Ayah menatap Kiran lalu menambahkan tiga lembar uang kertas merah ke hadapan Kiran. Ayah ingin membelai kepala Kiran tapi ragu, masih takut anaknya marah seperti dulu.

Ah, Kiran terharu, perubahan penampilan yang di anggapnya sepele ternyata menjadi momen haru keluarga ini. Yah siapa yang menyangka si tomboy Kiran yang keras kepala dan gampang marah, bisa berubah menjadi seperti ini. Anggap saja uang itu syukuran dari Ayah dan Kakaknya.

Kiran mencium tangan Ayah dan Mas Danu bergantian. "Makasi Mas, Ayah."

"Ehm ehm.. Jatah Ibu mana ya? Kan Ibu juga butuh dandan Yah, Dan." Goda ibu.

Ayah dan Danu saling menatap ketika mendengar perkataan ibu, menyahutnya dengan sedikit guraan, hingga seketika keluarga itu tertawa, dan suasana di meja makan yang tenang berubah menjadi riuh, karena di penuhi obrolan dan canda tawa.

*****

"Jadi, di ganti hari Senin ya ketemu dosennya?" Tanya Ibu saat mereka berada di ruang tengah sambil membongkar sebuah koper berisi baju lama sang Ibu yang disimpan di gudang.

Ayah dan Danu langsung berangkat kerja setelah selesai sarapan tadi.

"Iya Bu, gak banyak kok revisinya jadi Senin sekalian tanda tangan dosen setelah itu langsung dijilid." Jawab Kiran sambil memilah baju-baju Ibunya yang ternyata bagus bagus itu.

Ibu tak mengenakan baju itu lagi karena di anggap tak sesuai dengan usianya, dan memang kebanyakan baju baru yang dibeli untuk Kiran tapi tak berani diberikan.

"Wah baju lama Ibu kok bagus semua, mana banyak yang masih ada labelnya lagi." Sambung Kiran terpana.

Di satu sisi ia bahagia, uang lima ratus ribu pemberian Ayah dan Mas Danu utuh. Tak jadi digunakan untuk belanja baju.

"Iya, dulu saat ikut Ayah diklat di luar kota Ibu beli ini untuk Kiran. Tapi Kiran selalu merebut oleh-olehnya Danu, jadi Ibu simpan saja. Bisa untuk menantu atau cucu Ibu nanti. Eh tahunya tetap kembali ke pemiliknya." Terang Ibu sambil tersenyum.

"Terima kasih Bu, maafin Kiran yang sering buat Ibu marah dan sakit hati dulu ya." Kiran mendekati Ibu sambil mendekatkan tubuhnya ke samping, memeluk lengan kanan sang Ibu sambil menaruh kepalanya di pundak.

"Tak apa Nak, itu namanya pelajaran hidup. Kan seru rasanya punya pengalaman hidup kayak kamu, dari perempuan maskulin berubah menjadi feminim."

"Hehehe, Iya ya Bu." Kiran tertawa pelan.

Yah setelah obrolan singkat, hangat dan menyenangkan hingga selesai sarapan tadi, kecanggungan sikap orangtuanya mulai cair. Yah inilah awal perubahannya, memperbaiki hubungan dengan kedua orangtuanya yang dulu dingin, dingin karena sifat Kiran yang keras kepala, tak mau mendengar dan selalu merasa benar.

"Malam ini Kiran mau ketemu Zaky Bu, mau menyelesaikan sesuatu. Kali ini Kiran tak mau salah langkah lagi."

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang