Bab 1 : Awal Terkuak

48.7K 2K 15
                                    

Suara keributan kecil di dapur membuat suasana rumah itu terlihat lebih hidup dan ramai dari hari biasanya. Kiran ditemani oleh Mak Jani ART paruh waktunya, sedang sibuk memasak makanan kesukaan sang suami untuk memperingati tahun kelima pernikahan mereka.

Setahun terakhir ini hubungannya dengan sang suami terasa menjauh, obrolan kecil yang biasanya indah sekarang sering jadi pemicu pertengkaran. Ditambah kesibukan suaminya yang semakin menggila, hingga perhatian suaminya semakin berkurang. Kejutan yang malam ini ia siapkan, membuatnya berharap bisa memperbaiki dan mencairkan hubungan mereka sebelum semakin mendingin.

"Mak, saya tinggal ke kamar ya, mau mandi dan telpon Mas Zaky. Nanti kalau dagingnya sudah mendidih dimatikan saja." Pesan Kiran sembari melepas celemek yang melilit tubuhnya, lalu meninggalkan dapur yang masih berantakan dengan berbagai sayur, lauk dan bumbu-bumbu.

"Iya Kiran. Mak sekalian beresin ya." Jawab Mak Jani sambil membersihkan dapur.

Kiran hanya mengangguk sebagai jawaban sambil terus melangkah ke kamar. Begitu sampai di kamar ia langsung menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang ditempeli aroma bumbu dan masakan dari dapur. Sambil mengguyur tubuhnya dengan shower, senyum manis terbentuk di bibirnya. Rencananya setelah ini ia akan ke salon dan membeli beberapa gaun untuk menyempurnakan penampilannya.

Sudah lama rasanya dia tidak merawat dan memanjakan diri seperti ini, Kiran enggan menggunakan uang hasil kerja keras suaminya hanya untuk kesenangan pribadi, di tambah hingga saat ini ia belum bisa memberikan keturunan untuk suaminya, karena itu dia merasa rendah diri hingga menggunakan uang tersebut hanya untuk keperluan rumah tangga saja. Namun khusus hari ini, ia ingin tampil istimewa.

Setelah menghabiskan waktu 30 menit untuk memanjakan tubuh di kamar mandi, dia bergegas keluar, mengering tubuh dan mengenakan gaun kasual lengan sesiku model asimetris dengan tali berpita di pinggang  berwarna abu dan putih. Setelah memoles make up tipis dan lipstik agar wajahnya tampak segar, Kiran segera mencari ponsel yang sering ia letakkan sembarangan di kamar.

Kiran berkeliling kamar mencari ponselnya, mulai dari meja rias, nakas di samping ranjang, lemari pakaian sampai kamar mandi. Digeledahnya dengan pelan dan teliti agar isinya tidak berhamburan keluar sehingga membuat kamarnya berantakan dan membuat rencananya juga ikut  berantakan karena berakhir membereskan kamar lagi.

Saat kembali membuka laci nakas, terasa getaran di atas ranjangnya, ah dia lupa belum memeriksa ranjangnya, pelan ia membongkar letak susunan bantal dan guling yang sudah dirapikan suaminya tadi sebelum berangkat kerja, hingga akhirnya ia menemukan sebuah ponsel yang ternyata milik suaminya tertinggal. Satu pesan dari Adel Sayang yang isinya sedikit tampak dari layar depan ponsel yang terkunci itu langsung menghentakkan hati Kiran.

Prasangka negatif menguasai otaknya hingga membuat tangan kanannya yang memegang ponsel itu gemetar pelan. Layar ponsel itu terkunci, namun diam diam Kiran pernah mengambil sidik jari jempol kanannya untuk menjadi salah satu pembuka kunci layar. Kiran membuka pesan dari Adel Sayang  yang membuatnya perasaannya serasa terjun bebas, hatinya sakit bagai di tusuk ribuan jarum.

Pelan ia mengusap layar ponsel ke bawah, membaca isi chat WA antara suaminya dan Adel Sayang yang ternyata sangat panjang. Penanda bahwa kegiatan bertukar pesan mereka sudah berlangsung lama. Sambil terus menguatkan hati Kiran membaca pesan berbalas mereka dengan air mata yang awalnya hanya mengalir pelan membuatnya kian terisak.

Cerewet, Penganggu, Jelek, Wanita tua dan entah berapa banyak kata hinaan yang ditulis suaminya untuk menjelaskan buruknya ia di mata suaminya, tapi itu belum seberapa jika dibandingkan dengan sebutan mandul. Mengingat Kiran sudah berusaha keras untuk itu, mulai dari meminum jamu-jamuan, pijat hingga mengikuti nasehat orang-orang disekitarnya, tapi hingga detik ini Tuhan masih belum memberikan kepercayaan itu padanya, jadi apakah ini salahnya.

Begitu bahagianya kah suaminya menjelek-jelekkan dirinya di setiap percakapan mereka. Tubuhnya luruh ke lantai kamar bersama derai air mata yang semakin deras mengalir, sebagai pengurang sedikit rasa sakit yang merajam kuat hatinya. Terjawab sudah kebingungan Kiran akan perubahan sikap suaminya setahun belakangan ini. Ponsel di tangannya ia genggam dengan erat.

Tok tok tok.

"Kiran."

Mendengar suara pintu kamarnya diketuk, membuat kesadaran Kiran perlahan kembali. Kiran menghapus air mata yang mengalir di pipinya dengan handuk wajah, lalu mencuci mukanya sebentar di wastafel sebelum membuka pintu kamarnya.

"Iya Mak."

"Dagingnya sudah mak matikan, udang asam pedasnya masih di wajan, nanti tinggal dipanaskan, sayur sop di panci juga tinggal dipanaskan, sayuran buat capcaynya sudah dipotong, Mak taruh di wadah di dalam kulkas tinggal ditumis saja ya, biar sayurnya tidak layu saat mau dimakan." Terang Mak Jani menjelaskan tanpa memandang Kiran.

Melihat tak ada tanggapan dari majikannya, Mak Jani akhirnya mendongakkan wajahnya menatap Kiran yang ternyata sedang melamun.

"Kiran, kamu kenapa, kok diam?" Tanya Mak Jani sambil terus memperhatikan wajah majikannya, akhirnya tampaklah mata merah serta bengkak di wajah Kiran, sontak dia terkejut.

"Ya ampun Kiran, kenapa? Kok nangis?" Mak Jani menangkup wajah Kiran dengan kedua tangan tuanya. Tubuh Kiran lebih tinggi dari Mak Jani sehingga ia harus mendongak untuk melihat jelas kondisi majikannya.

Majikan yang selalu memperlakukannya dengan baik, bahkan menganggapnya seperti keluarga sendiri. Jadi Mak Jani tak pernah canggung memanggil majikannya dengan nama bahkan Kiran biasa mencium tangan wanita paruh baya yang bekerja membantunya di rumah ini.

Sontak Kiran memeluk Mak Jani dengan tangis kembali keluar. Sebuah pelukan hangat yang mampu membuatnya sedikit tenang. Setelah puas menangis dalam pelukan Mak Jani, perlahan Kiran melepas pelukan mereka. Ia tak mampu menceritakan apa yang terjadi padanya. Ini bukan asumsi, tapi memang benar terjadi. Suaminya bermain api, berselingkuh di belakangnya. Melampiaskan segala amarah padanya, namun bersikap lembut dan manis kepada wanita selingkuhannya.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang