Bab 26 : Cemburu?

15.2K 1.3K 75
                                    

'Aku cemburu? Masa sih' batin Kiran.

Yah ucapan Rizal kemarin siang nyatanya masih membekas di pikirannya. Rasa marah dan tak suka saat pesannya diabaikan, kecewa dan sedikit sakit hatinya saat pas pulang dari tugas keluar kota, lelaki itu tampak bahagia ditambah ucapan bang Beni. Yah, fix Kiran memang cemburu.

Itu artinya Kiran memang sudah jatuh hati pada lelaki itu. Tidak, itu tak boleh, dia belum ingin jatuh hati lagi. Kiran sedang ingin fokus membahagiakan dirinya di kesempatan ini.

Penjelasan Rizal sedikit menenangkan hatinya walau tak sepenuhnya membuat lega, dan selanjutnya hati Kiran kembali merasa bimbang. Kenapa bisa dia seperti ini setelah mendengarkan penjelasan Rizal. Tidak, tak boleh, jangan dulu, Kiran tak boleh bermain perasaan saat ini.

"Hei, pagi-pagi jangan melamun." Sapa Rizal.

Kiran menoleh menatap lelaki itu dengan tatapan yang tak bisa Rizal pahami. Gadis itu seolah penasarannya dengan perasaan nya. Dia pikir dengan menatap lelaki itu dia mendapatkan kejelasan.

"Ran, jangan buat aku grogi ah. Pagi-pagi main tatap-tatapan gini, walau aku suka sih." Goda Rizal sambil menyunggingkan senyum.

Kiran mengalihkan tatapan sambil menyentuh dadanya yang berdebar lebih cepat.

"Tatapan aku emang gak baik buat jantung kamu Ran. Karena ada perasaan yang diterima hati kamu dari mata aku." Lanjut Rizal.

Kiran kaget mendengat suara Rizal dekat, tepat di sampingnya. Kiran enggan menoleh karena ia yakin Rizal berada terlalu dekat dengannya.

"Ehm.. pagi-pagi udah di pake buat nge gombal. Gunakan semangat pagi untuk kerja lebih giat." Tegur bang Beni.

Teguran bang Beni membuat Kiran jadi salah tingkah dan Rizal mendengus kesal. Baru juga baikan, eh di ganggu lagi dengan seniornya itu. Sambil melirik kesal kepada Beni, Rizal kembali ke kubikel nya.

*****

"Makasih mau nemenin mas ngopi disini."

Kiran tersenyum tipis. Dia tak menyangka akan bertemu lagi dengan pria ini walau kali ini secara tak sengaja. Seolah takdir masih mempermainkan mereka. Yah, Kiran singgah di salah satu supermarket, membeli pesanan ibunya, namun tak disangka dia bertemu dengan Zaky, yang juga sedang berbelanja. Lelaki itu membantu membawa belanjaan Kiran, walau sudah Kiran tolak. Coba tadi dia menerima tawaran Rizal.

Walaupun sudah berdamai, tapi bukan berarti Kiran dengan suka rela bersedia bertemu dan menghabiskan waktu dengan pria itu. Baginya Zaky adalah masa depan yang harus dihindari dan dikubur dalam-dalam.

"Masih belum mau buka blokiran nomor mas ya dek?"

"Maaf."

"Gak apa, udah mau ngobrol aja mas udah seneng. Gimana kerja disana?"

"Sibuk, rame, capek, tapi aku suka."

"Baguslah, mas ikut seneng dengernya. Dapat salam dari mamah, mamah seneng denger kita sudah bisa berteman sekarang."

"Sampaikan makasih aku buat mamahnya mas."

"Umm, dek. Gak adakah kesempatan buat kita balikan? Maaf ini terlalu cepat sebenarnya, karena kita baru baikan, tapi jujur mas selalu kepikiran kamu. Dan mas rasa, mas sudah jatuh cinta sama kamu, jauh sebelum hari ini."

Kiran kaget. Zaky mencintainya, rasanya tak mungkin mengingat sekeras apapun dulu usahanya mendekati Zaky, perasaan pria itu masih hanya sebatas rasa sayang. Bahkan saat menyentuhnya, itu hanya sekedar pelampiasan syahwat, bukan bercinta.

"Yakin cinta mas? Bukan rasa bersalah akibat mempermainkan perasaan aku atau obsesi karena gak nyangka aku bisa lepas dari kamu."

"Gak dek, sejak lamaran gagal waktu itu, kamu selalu ada dipikiran mas. Bayang-bayang kamu dan keinginan untuk memiliki kamu menjadi pendamping mas semakin kuat. Mas sayang dan cinta kamu." Ujar Zaky lugas sambil menatap tulus ke Kiran.

Ini pertama, yah pertama kalinya Zaky menatap nya dengan mata penuh pengharapan dan mungkin cinta. Bukan tatapan remeh seperti dulu. Mungkinkah, jika seandainya Kiran bersikap abai seperti ini dulu, Zaky akan bersikap seperti ini padanya, hingga ia tak selingkuh dengan Adel. Kembali ingatan buruk itu menyerang Kiran menguatkan hatinya yang mulai goyah.

"Jika dulu mas seperti ini mungkin kita masih bersama, sayangnya.." Kiran menghela nafas pelan.

"Sayangnya mas sudah mencoreng kepercayaan aku. Saat tahu mas main belakang saat masih pacaran dengan aku, membuat aku ragu. Apakah mas orang yang bisa dipercaya. Aku gak mau hidup dalam keragu-raguan."

"Mas janji akan setia sama kamu, pegang janji mas dek."

"Gak ada yang bisa menjamin mas bakal terus setia sama aku selamanya, karena mas pernah melima kan aku sebelumnya. Lebih baik berhenti sekarang daripada berhenti setelah salah satu tersakiti saat kita menikah nanti. Karena korbannya bukan cuma satu orang tapi dua keluarga."

"Kenapa kamu se presimis itu sama mas? Apa kesalahan mas sedalam itu melukai kamu?"

"Yang ini gak sedalam dan sesakit yang mas lakukan setelah kita menikah." Ujar Kiran kelepasan bicara.

"Maksud kamu dek? Bagaimana kamu yakin mas bisa menyakiti kamu setelah kita menikah nanti. Menjalani nya aja kita belum." Tanggap Zaky bingung.

"Itu hanya pengandaian mas." Elak Kiran, tak ingin semakin keceplosan.

"Jangan mengandaikan sesuatu yang belum terjadi. Seperti apa mas harus berjanji biar kamu yakin dan percaya?"

"Gak perlu."

"Kenapa?"

"Karena aku gak mau, gak bisa dan gak yakin sama mas. Maaf."

"Kenapa kamu bisa se tak yakin begitu sih sama mas? Ini aneh dek."

"Karena aku udah merasakannya. Mas dan itu sangat menyakitkan. Udah ah cukup ngobrolnya, aku harus pulang. Permisi."

"Kiran, dek tunggu mas."

Usaha Zaky sia-sia karena Kiran bergerak cepat menjauhi nya. Ini aneh, mata Kiran terlihat terluka dan sedih saat membahas masalah tadi. Zaky merasa ada sesuatu yang Kiran tutupi darinya, entah apa. Dan dia akan terus mencari tahu.

*****

Di lain tempat tampak sesosok tubuh yang beberapa bagian tubuhnya dilapisi perban, masker oksigen, selang infus dan beberapa kabel tampak melekat ditubuhnya tersambung dengan alat monitor besar disampingnya yang menampilkan grafik.

Sudah sebulan sosok itu tak sadarkan diri. Luka fisik yang cukup berat, pendarahan otak, kaki kanan dan kiri retak ditambah keguguran. Beberapa luka ringan terlihat sudah terlihat mulai membaik, tinggal luka besar yang butuh waktu lebih lama untuk sembuh.

"Sampai kapan yah?" Tanya wanita paruh baya itu kepada lelaki disamping.

"Kita berdoa saja Bu, semoga segera sadar." Lelaki itu mengelus kepala wanita disampingnya.

Raut lelah dan sedih tampak jelas terlihat diwajah tua mereka yang memandang sosok yang terbaring, masih setia memejamkan mata di dalam ruang perawatan ini. Hanya doa yang mampu mereka lakukan demi kesehatan sosok didepannya ini.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang