Hal paling nekad yang pernah Jingga lakukan seumur hidupnya tentu saja ketika ia mendaftar beasiswa kuliah ke Korea Selatan secara diam-diam.
Orangtua dan kakak laki-lakinya sama sekali tidak tahu.
Jingga hanya berbekal informasi dari sepupunya yang memang sudah lama tinggal di negeri ginseng itu.
Keluarganya baru tahu setelah surat keterangan penerimaan beasiswa itu ada di tangannya.
Jangan tanya bagaimana respon keluarganya. Ayahnya tertawa terbahak-bahak karena anak perempuannya ini selalu punya seribu cara untuk mewujudkan keinginannya. Ibunya kaget—lebih ke tidak setuju. Seperti ibu pada umumnya, ibunya tidak ingin anak perempuannya yang baru lulus SMA itu harus dilepaskan di negeri orang.
Kakak laki-lakinya pun tidak ada bedanya, ia tahu bagaimana ceroboh dan sok tahu adiknya itu. Hanya berbekal suka terhadap idola-idola di Korea Selatan tidak bisa menjamin hidup Jingga di sana.
Tapi hari ini Jingga mematut dirinya di depan cermin besar dekat pintu apartemennya. Sudah bertahun-tahun semenjak kejadian perdebatan di rumahnya itu. Pada akhirnya ibu dan kakaknya setuju dan Jingga ada di sini. Di salah satu wilayah di Kota Seoul, Korea Selatan.
Jingga, 25 tahun. Survived.
*****
"Joeun achim, imo!" (Selamat pagi, bibi!) pekik Jingga sambil mendorong pintu toko kue langganannya.
"Aigoo! Sudah imo duga pasti akan datang! Mau ambil roti apa kue?" sapa pemilik toko itu dengan Bahasa Korea.
"Aku ambil roti ya, imo! Aku buru-buru, maaf tidak bisa mengobrol." Jawab Jingga dengan Bahasa Korea yang fasih.
Tinggal di Korea Selatan selama bertahun-tahun tentu membuat Jingga menguasai bahasanya dengan sangat baik.
Setelah memastikan roti untuk sarapan masuk ke dalam tasnya, Jingga buru-buru berjalan menuju stasiun terdekat. Ia butuh menggunakan subway menuju kantor tempatnya bekerja.
Jingga tersenyum lebar kemudian menepuk pelan coat warna mustard yang dipakainya.
"Emang lo terbaik deh." Bisiknya untuk diri sendiri.
Jingga keluar di stasiun tujuannya dengan senyum lebar. Hampir dua tahun ia menggunakan stasiun ini untuk sampai ke kantornya, tapi rasa bangga belum juga hilang di dirinya.
Bagaimana tidak bangga, kantor tempat Jingga bekerja terletak di daerah Gangnam, dan sebelum libur natal kemarin ia baru saja diangkat menjadi manager.
Oh ya, Jingga bekerja di sebuah perusahaan kosmetik. Ia ada di salah satu divisi marketing di sub-divisi desain grafis.
Mungkin namanya cukup aneh, tapi itulah yang terjadi.
Jingga baru saja diangkat menjadi manager di sub-divisi nya, tentunya karena produk perusahaannya sudah masuk lima besar kosmetik di Korea Selatan, divisi marketing pun punya beberapa manajer.
"Caramel Macchiato, hana juseyo." (Caramel Macchiato satu ya)
Setelah memesan, Jingga memilih kursi terdekat sambil menunggu minumannya selesai.
Tidak butuh menunggu lama, namanya dipanggil begitu juga dengan handphonenya yang berdering.
"Halo?"
"Dimanaaa?"
"Di Sbaks." Jawab Jingga asal. "Kenapa, sih?"
"Halo Bu, apa gak inget ada meeting sama Miss Jung lima menit lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Palette
Fanfiction(Series #11 - TAMAT) I like it, I'm twenty-five. [Cerita belum direvisi sejak tahun 2020]