Keadaan Memburuk (1)✔️

213 53 44
                                    

Siang itu, apartemen yang begitu besar tampak sepi karena tujuh penghuninya pergi untuk menghadiri salah satu variety show. Tinggallah seorang gadis sendirian di dalam apartemen. Gadis yang tak lain adalah Dean duduk di pojok kamar sambil memeluk lututnya. Awalnya begitu hening, tapi sesaat kemudian tangisan gadis itu menggema di kamarnya.

"A-apa yang terjadi dengan tubuhku?"

Hampir setiap hari Dean menangis di pojok kamarnya. Tentu di saat tidak ada siapa pun di apartemen itu. Ini semua berawal dari beberapa hari yang lalu. Kala itu Namjoon sedang terburu-buru dan meminta bantuannya untuk mengambilkan ponsel yang tertinggal di kamar.

Gadis itu segera menyanggupi permintaan itu. Begitu dia memasuki kamar Namjoon, Dean menghela napas melihat barang-barang yang berserakan di mana-mana. Untung saja mata Dean jeli, hingga tak butuh lama menemukan benda pipih milik Namjoon.

Aku akan merapikannya nanti. Batin Dean setelah menutup pintu kamar.

"Ini ponselmu, Nam-"

Trak!

Gadis itu tertegun melihat ponsel di tangannya sudah jatuh menyentuh lantai dengan sangat keras. Lain halnya dengan Namjoon yang terkejut karena mendengar suara nyaring dari belakang tubuhnya.

"Kenapa, Dean?" tanya Namjoon. Dean masih mematung memandang ponsel itu dan Namjoon pun mengikuti arah pandang Dean. "Jangan dipikirkan. Tidak apa-apa. Lagi pula kau tidak sengaja," Namjoon mengambil ponsel miliknya yang tidak bisa menyala lagi serta ada beberapa retakan yang terpampang jelas di layar ponsel itu.

Dean tersadar dari keterkejutannya. "A-ah maafkan aku, Namjoon. Aku sangat menyesal."

"Tidak apa-apa, Dean," ujar lelaki itu sambil menepuk sekali punggung Dean. "Aku akan pergi. Jaga rumah, ya." Namjoon mengulas senyumnya. Dia tahu Dean sangat merasa bersalah, tercetak jelas dari wajahnya yang menahan tangis.

Begitu mendengar suara pintu terkunci, Dean terduduk lemas sembari meneliti kedua tangannya yang sudah bergetar hebat. "A-aku jelas-jelas menggenggam erat ponsel itu." Dean memejamkan matanya erat, menarik napas dalam-dalam agar dirinya bisa tenang.

Ini bukanlah yang pertama kali, sudah terhitung puluhan kali dirinya menjatuhkan barang yang tengah digenggamnya. Seiring berjalannya waktu kejadian itu semakin sering terjadi. Walau awalnya Dean bisa tenang, namun semakin lama tentu ketakutan menghampirinya.

Terhitung sudah sejam lamanya Dean mengeluarkan semua kefrustasiannya dengan menangis. Kini, dia melangkah keluar kamar menuju dapur karena merasa tenggorokannya sudah kering sebab terlalu lama menangis.

Segelas air terletak di atas meja makan. Tangannya terjulur ingin menggapai gelas itu, namun terhenti di tengah jalan. Keraguan dan ketakutan kembali menghantui dirinya. Setelah memantapkan hati, Dean dengan perlahan menyentuh bibir gelas.

Tak terasa apa pun. Tangannya melewati benda padat yang berisi cairan itu. Gadis itu kembali mencoba, namun masih saja memberikan hasil yang sama. Tangannya terkepal kuat dan matanya mulai memanas. Dean berulang kali mencoba, bahkan dengan menepis kuat gelas di depannya. Sampai pada akhirnya gelas itu bergeser kuat dan pecah menjadi beberapa bagian. Tidak ada lagi air mata. Dirinya sudah terlalu lelah menangisi keadaannya yang masih menjadi teka-teki.

Malamnya, semua anggota berkumpul bersama untuk merayakan sesuatu.

"Cepat bantu aku mengangkatnya." Jin mulai mengangkat sisi kiri sofa dan Namjoon di sisi sebelahnya. empat sofa sudah dipindah ke tepi ruangan. Hanya tersisa satu sofa lagi, yaitu sofa yang paling panjang.

"Kenapa tidak ada yang mengangkat sofa ini?" tanya Yoongi.

Jin menggeram marah melihat Yoongi yang terbaring di atas sofa terakhir. "Kau lebih memilih tidak bergerak dari sofa itu atau tidak mendapatkan sarapan di setiap pagi?" tanya Jin sembari berkacak pinggang.

"JUNGKOOK! Bantu aku mengangkat sofa ini," teriak Yoongi sambil berdiri tegap.

Jimin dan Hoseok datang dengan membawa beberapa selimut dan diikuti oleh Taehyung dan Dean yang membawa banyak bantal.

"Rapikan di sebelah sana," perintah Jin pada Jungkook.

"Sebenarnya kenapa kita harus berkumpul di sini? Kita punya kamar dengan kasur yang empuk," gerutu Jungkook.

Hoseok menjawab sambil menyusun bantal-bantal. "Ini namanya malam kebersamaan. Lagi pula kemarin kau sudah menyelesaikan masalahmu dengan Hye Mi. Itu harus dirayakan dengan berkumpul bersama sambil menonton televisi dan bercerita."

"Dean, ayo baring di sampingku," ajak Jimin. Dean menurut dengan berbaring di sisi paling kanan.

"Kau sudah mengenal Hye Mi sejak dua tahun yang lalu. Tak kusangka sifat aslinya muncul juga," ujar Taehyung.

"Ya, begitulah. Aku bersyukur rumor ini cepat berlalu. Tapi aku masih kesal karena wanita iblis itu tidak memberikan satu komentar pun kepada publik," ujar Jungkook dengan menggeram marah. Tangannya menjambak-jambak rambut Jin yang tengah berbaring dengan pahanya sebagai bantal.

Yoongi melirik Jungkook. "Sudahlah. Jangan bahas lagi mengenai wanita gila itu. Membuat hatiku panas saja." Baru kali ini mereka melihat wajah Yoongi berubah merah. Sudah dapat dipastikan lelaki itu tengah marah besar.

Jimin berdiri. "Aku akan mengambil air. Dean, bantu aku membawanya."

Dean berlalu ke dapur dan membantu Jimin yang tengah menuangkan jus terakhir di gelas ketujuh. Gelas kedelapan berbeda sendiri. Jimin menuangkan susu rasa pisang yang pastinya untuk si maknae.

"Bawakan gelas Jungkook dan Taehyung." Jimin mengangkat nampan yang terdapat enam gelas jus jeruk.

Tangan Dean terulur pelan. Begitu mendekati benda yang dituju, tangan itu mulai bergetar seirama dengan jantung yang berdegup semakin kencang. Dean lebih memilih indra perabanya mengalami kelumpuhan, walaupun itu keadaan yang pasti tidak diinginkan semua orang. Tapi itu lebih baik daripada begitu saja menembus suatu benda yang pastinya di luar akal manusia.

"De-Dean! Ke-kenapa bi-bisa ..." Nampan di tangan Jimin terhempas begitu saja. Untung nampan itu tidak diangkat begitu tinggi, hanya beberapa senti saja jaraknya dengan meja.

Dengan cepat Dean membekap mulut Jimin dengan tangan kanannya. Ya, sekarang kedua tangan itu sudah berfungsi normal.

"Jangan katakan," lirih Dean sambil menggeleng.

"Ceritakan padaku!"

Semua beban yang Dean tanggung sendirian sudah sedikit berkurang. Masalah tanpa jawaban itu sudah diketahui oleh orang lain. Memang keanehan itu membuatnya frustasi, namun bagaimana pun Dean tak ingin menyusahkan orang lain, apa lagi tujuh lelaki yang begitu baik padanya.

Ingin merahasiakan semuanya sendiri, ternyata begitu cepat terbongkar di hadapan salah satu lelaki yang kini tengah memasang raut bingung, sedih, dan khawatir.

"Bagaimana bisa merahasiakannya dengan yang lain?" pekik Jimin tertahan.

"Aku tidak mau menjadi beban pikiran kalian. Aku tidak mau kalian khawatir. Tolong rahasiakan semuanya ... demi aku." Dean berusaha memegang wajah lelaki di depannya. Sayang, tangan mungilnya lewat begitu saja menembus wajah Jimin.

Cairan bening yang ditahan Jimin sedari tadi akhirnya terlepas begitu saja membasahi kedua belah pipinya. "Kalau kau tak bisa menggapaiku, maka aku yang akan menggapaimu."

Dean merasakan kehangatan di hatinya. Kata-kata Jimin memberikan ketenangan padanya. Begitu juga dengan tangan Jimin yang memberikan kehangatan di kedua pipinya.

"Apa yang sedang kalian lakukan?"

Sontak Dean dan Jimin terkejut ketika seseorang memergoki mereka. Bahkan Dean sudah berkeringat dingin, takut orang yang tengah memicingkan mata itu mendengar pembicaraannya dengan Jimin.

"Kalian lama sekali. Biar aku saja yang membawa gelasnya. Jim, tolong bawa sisanya," ujar Hoseok sembari mengangkat nampan.

Begitu Jimin, Dean, dan Hoseok sampai di ruang tengah, Jungkook melayangkan sorotan menghunus tajam pada Jimin. Pikirannya ke mana-mana mengingat Jimin dan Dean begitu lama berada di dapur.

"Jangan memandangku seperti itu, Kook." Jimin berbaring di tempat asalnya.

Jungkook mendengkus kesal dan mulai menarik-narik rambut Jin lagi.

Together with BTSS ¦| JJK |¦ (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang