Sudah selama ini dan kabar tentang Sandara sesekali ku tahu dari story akun Instagramnya. Dia lebih dari bahagia dan menemukan hidup yang lebih baik sepertinya. Berbeda denganku.
Hari-hari orang jatuh cinta tapi tidak bisa dimiliki ya seperti itu. Didefinisikan sulit, suasana hati tidak jelas, galau tiba-tiba, bikin hidup makin rumit.
"Kalo mau masuk tahu kan etikanya gimana" kataku tanpa harus menolehkan diri kearah pintu untuk mengetahui siapa yang masuk kedalam ruangan dengan cara tidak sopan itu.
"Hehe sorry..Put, nanti malam biasa, dapet traktiran ini dari Hengky" kata Randi menginterupsiku yang sedang sibuk dengan dokumen yang harus segera ku selesaikan.
"Gak bisa gue" kataku singkat
"Allaaaaah akal-akalan aja lo. Lo gak bakalan bayar kali. Tenang."
"Gue lagi gak minat Ran. Banyak kerjaan"
"Hiisss.. yah gak asyik lo" kata Randi bergegas
Aku hanya tersenyum menatap Randi keluar dari ruanganku. Kuhela nafas kasar, mereda rasa lelah dan segala kepenatan yang akhir-akhir ini sering melandaku.
Ku langkahkan kakiku mendekati jendela besar yang ada di ruanganku, menghadap kota yang padat, di bawah sana ratusan mobil bercampur sepeda motor bergerak perlahan dalam kemacetan, ku lirik Rolex kenangan Tsura yang masih melingkar dipergelangan tanganku.
Jam makan siang hampir habis, dan tidak aku habiskan dengan menyantap hidangan sekalipun, entah menguap kemana rasa laparku. Tergantikan rasa rindu yang penuh hingga membuatku kenyang seharian.
Andai saja perempuan yang telah mencuri hatiku itu memilih memperjelas semuanya. Pasti semuanya akan baik-baik saja. Kita bahagia menjalani hari-hari long distance relationship yang kata orang sulit. Sepertinya segala yang sulit tentang Sandara hanya ada pada gengsinya.
FLASHBACK
"Kamu mau sampai kapan kayak gini Put?" kata Mami waktu berkunjung ke apartemenku"Putra lagi pengen sendiri, Mi" kataku dingin
"Kamu juga harus jaga kesehatan kamu. mami gak akan maksa kamu sama Tsura lagi. Tapi peduliin diri kamu lho.." kata Mami seraya mengelus lenganku pelan
"Mami keluar deh mendingan dari kamarku, aku pengen sendiri" kataku tegas tak ingin diganggu
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku saat tiba-tiba Papi entah sejak kapan berada di depan kamar apartemenku.
Rasa nyeri menjalar hingga rahangku, kulihat di lantai ada beberapa tetes darah yang ku yakini datang dari tepi bibirku. Tidak usah ditanya sakitnya seperti apa.
Aku menunduk tak berani memandang Papi. Sejak dulu hubungan kami tidak terlalu dekat, Papi dan segala perintahnya membuatku malas untuk sekadar menyapanya. Komunikasi kami hanya tentang iya dan tidak terlaksananya perintah.Sudah dengan sadar aku tahu apa tujuan mereka berdua menyambangiku. Bukan sekali dua kali aku tidak fokus kerja, tidak datang meeting, hingga membatalkan pertemuan bisnis di luar jam kerja. Kegalauan ini mungkin sudah merambat mengancam reputasi bisnis keluarga Adiwira. Aku tidak pernah seburuk ini dalam mengatasi perasaan.
Mereka tak akan paham apa hal yang menjadi beban pikiranku. Aku juga berpikir untuk segera membuang jauh perasaan ini. Apakah ada hal yang lebih menyakitkan dari ditinggal? ditolak? lalu tidak bisa mengikis sebuah harapan? Entah itu hanya menyakitkan atau juga membuat seseorang bodoh, dan parahnya itu menimpaku.
"Sampai kapan mau jadi pecundang kayak gini hah?!!!!" suara Papi menggema di depan kamarku
"Apa yang lebih tidak masuk akal, HIDE gagal tender sekecil itu?!! Niat gak mimpin perusahaan?! Kamu sudah besar sudah harus dewasa. Tanggung jawab itu bukan cuma dirimu. Ada ratusan nyawa yang kamu tanggung. Papi benar-benar kecewa" ungkap Papi sambil mencoba meredakan nafasnya sedikit tenang saat tangan mami mengelus dadanya hingga mereka berdua meninggalkanku.
Aku benar-benar tersadar atas apa yang aku lakukan. Bukan menjadi aku yang tak bertanggung jawab seperti ini, aku tidak hanya bertanggung jawab atas diriku tapi juga para karyawan.
Hanya karena aku kehilangan cintaku hanya karena aku gagal menjadikan ia milikku lantas aku harus seperti ini? Lantas aku harus ikut menghancurkan apa yang sudah aku bangun mati-matian.
Flashback offSejak saat itu Albert Putra Adiwira kembali menjadi diri yang tertutup, dingin, dan tak tersentuh. Hari-harinya hanya akan dihabiskan di kantor, ruang kerja, dan kamar pribadinya.
Ia kehilangan hal yang membuat dunianya ceria dan berwarna. Netranya tak lagi menatap hal-hal yang rumit dengan gadis secantik dan seunik Sandara. Hari ini dan yang lalu adalah dua hal yang sama dalam beda waktu.
Nyatanya Sandara tak mungkin hilang betul dari hatinya, ia akan berusaha melupakan segala yang pernah terjadi. Meskipun jelas menguras birunya laut adalah hal mustahil.
Putra menghembuskan napas keras dan lepas setelah tiba di kamar nuansa industrial, coklat tua, hitam dan sedikit sentuhan putih ini. Ada penat yang ingin ia angkat, selepas semua pertemuan yang ia lakukan hari ini dan juga puluhan tanda tangan yang ia bubuhkan di atas dokumen-dokumen pentingnya, ahh yaa.. dia seberuntung ini dalam karir, tapi bisa ditebak di bagian mana ia tak beruntung.
"Apa kabar, Dar? Aku bahagia lihat kamu seceria itu"
Di otaknya hanya sekelebat wajah ceria itu melintas. Senyum lepas Sandara di depan sebuah bangunan penuh kaca. Putra menyusut senyum sinis yang kadang ditujukan hanya untuk membuatnya merasa jengah, namun itu tak berarti. Hingga detik ini melamunkan masa indah bersama Sandara yang tak seberapa itu adalah hal yang paling menyenangkan untuknya dan hari-harinya kedepan.
Indah bagian mananya? Bagian drama menguras hatinya?
Ia tersenyum rapal lalu pelan-pelan malam mengantarkan rasa nyaman bernama istirahat sebelum ia harus bimbang lagi memilih esok, untuk berjuang atau melupakan. Keduanya sama-sama mempunyai tantangan.
Tok.. tok.. tok bunyi pintu kamar di apartemennya diketuk. Hari masih terlalu pagi untuk menerima tamu.
"Hemmm" kata Putra sambil bosan memainkan kubik yang sedang ia pegang. Kemejanya belum ia pakai, ia masih malas untuk memutuskan akankah ia pergi ke kantor dengan mood yang buruk penuh rindu yang tak tersalur ini.
"Makan dulu kak, nanti mbak Dara pulang kakak tinggal tulang gimana. Ga enak dipeluk" guyon Jessie padaku
"Heehh! Dasar adik sialan, ya ga mungkin lahh gue ganteng gini.. Sandara aja yang rela membuang gue percuma" Jawab Putra sedikit marah
"Ya bagaimana orang tiap hari cuma minumm kopii terus, mendekam di ruang kerja, ngalamun di kamar, ke kantor terus makan cuma kayak sambilan. Inget gasih kalau ciri makhluk hidup itu membutuhkan makan"
"Kamu gak tahu rasanya. Sakit banget tau" kata Putra mendramatisir
"Idiiihhhh adeww gileee alay gini, Kak. Buucinn abisss. Dah ah mau makan kek. Enggak juga terserah"
Yang tersisa hanya Putra dan dirinya yang lain lagi di ruang itu.Menyaksikan langit dari jendela kamar apartemennya, Jakarta pagi ini diguyur hujan, sama seperti hatinya.
Baru berkenalan dengan Sandara, Putra sudah punya imajinasi akhir pekan dengan gerimis pagi-pagi dan cuddling. Namanya juga manusia, cinta belum bersambut khayalan sampai membangun romansa tak berkabut.Akan sangat manis apabila menghabiskan waktu dengan Netflix, mie instan kuah, dan mendekap kekasihnya seharian di apartemen. Lalu ditutup dengan ungkapan kasih sayang atau sekedar menikmati candaan dengan hukuman kekalahan bermain uno berdua.
Kenyataannya bahwa mencari wanita yang cocok secara lahir batinnya saja masih belum bisa ia dapatkan. Apalagi mewujudkan imajinasinya.
***
Dimata lelaki aksi paling heroik adalah membuktikan
Ia tak minta apa-apa
Selain dihargai-Albert Putra
KAMU SEDANG MEMBACA
Break Our Gap (REVISI)
De TodoAlbert Putra Adiwira pemilik label design HIDE Corp dan terkenal sebagai seorang workaholic. Jatuh cinta kepada Sandara Permata Wilaga, seorang penyiar radio. Sebagai seorang pebisnis yang hidup dalam keluarga menengah ke atas tentu mempunyai dunia...