Sandara POV
“Kita sama” jawab Putra kepadaku
Aku menganga. Melihat kearahnya dengan penuh pertanyaan.“Tenang, tetap bisa nikah kan?” tanyanya mencoba menggodaku.
Aku masih tidak percaya, sebab Putra hampir tidak pernah terlihat salat. Bahkan jika aku pamit untuk salat pun hanya diiyakan tanpa berniat untuk salat bersama.
“Tapi sorry kok... aku ga pernah lihat kamu salat?” tanyaku dengan penuh rasa ingin tahunya
“Kamu yang ga tahu aja. aku memang jarang salat” Putra tersenyum berat
“Lho kenapa? Bukannya kalo baru masuk malah biasanya lebih kuat ya daripada bawaan orang tua” Dara menganalisis
“Karena Mami tidak kunjung paham. Tidak selamanya seorang anak harus satu keyakinan dengan orang tuanya. Dulu aku salat sekali ceramahnya seharian, mami nyindir terus"
”Papi sekarang ga pernah lagi sembahyang. Sejak ia mengalami peristiwa buruk di Washington dulu. Sehingga tiap salat ia terbayang peristiwa bom di Washington saat kami tinggal berbulan-bulan disana. Sebab sebelumnya Papi ketemu sama orang yang diduga tersangka itu dan sempat salat bersama di tempat parkir hotel saat Papi akan masuk ke dalam hotel tersebut”
“Jadi Papi kamu muslim juga?” aku benar-benar kaget, setahuku Pak Adiwira juga bukan muslim
“Iya. Opa dari Papi orang Jawa. Cuma emang jadi jauh karena nikah sama Mami yang dari keluarga Tionghoa. Lihat kamu gini bikin aku mikir, aku bisa gak ya kalo jadi imam kamu?” Putra mengeluh
“Hei bisalah. Felic-felic yang terkenal itu buktinya pengikutnya banyak” Aku menggoda Putra
“Iya juga sih. Tapi kalau gak sempurna bagaimana?” Putra masih melanjutkan pesimismenya
“Memang ada yang tahu cara ngukur kesempurnaan orang beribadah selain Tuhannya? Emang kalo muslim udah lama dijamin kesempurnaannya? Enggak kan?” aku berupaya mengumpamakan
“Emang dulu kok bisa mutusin buat masuk islam gimana ceritanya?” tanyaku penuh penasaran
Putra menghela napas kasar. Pikirannya berputar mengingat detail kejadian hingga ia memutuskan untuk masuk Islam dulu.FLASHBACK
5 tahun yang lalu.
“On me guys. Everything you want, just go. On my treat”Putra mengambil kursi dan memanggil pelayan. Diiringi gelak tawa 2 orang sahabatnya yang girang karena akan ditraktir.
“What happened? Why you feel so happy? It’s not your birthday right? Maybe you got ....” kata salah satu temannya
“Nooo..” Putra menolak candaan temannya itu “Rachel and I are dating”
“Whatt?? Nooo. What the hell” teman-temannya menolak percaya.
Putra pergi ke toilet sekaligus meminta bill di kasir. Saat akan membayar ia tak sadar jika ia lupa membawa kartu debitnya. Bahkan ia melupakan jika saldo Bitcoinnya belum ia urus.“How much?” tanya seorang gadis memakai kerudung di sampingnya
“185 Euro”
“Thanks” jawab gadis itu seraya menyerahkan nota pembayaran pada Putra dan berlalu
“Hai waitt... wait.. you” Putra mengejar gadis itu
“Mau sok jadi pahlawan lo? Saya masih bisa membayarnya. Saya gak butuh bantuan lo. Lo orang Indo kan? Gue pernah lihat lo jalan sama Felice” Putra memaki karena merasa dilecehkan
“Agama saya tidak pernah mengajarkan seseorang memaki orang yang sudah menolongnya. Saya harap kamu sehat. Sampai bertemu di Indonesia, aku Nafisah” jawab cewek itu dengan senyuman
FLASHBACK OFF
“Hampir setiap hari aku memikirkan gadis itu, bahkan aku tanya sama temanku yang pernah aku lihat ketemu sama dia, ga ada jawaban” Putra terlihat putus asa
“Setahun kemudian saat aku ada kunjungan ke Jatim. Kebetulan client pertamaku saat aku lulus dari MIT dan balik ke Indonesia menyuruhku untuk design pondok pesantren. Awalnya aku bingung karena jarang pondok pesantren mikirin detail sampai ke design segala. Kamu tahu dia siapa?” aku menggeleng
“Kyai pemilik pesantren itu, bapaknya Nafisah” Putra menunduk, entah mengapa pandangannya meredup
“Kamu suka sama dia ?” aku bertanya dengan nada sepelan mungkin
“Naif kalau tidak, dia menyelamatkan harga diriku. Aku ga tahu kalau dia ga bayarin bagaimana nasib aku. Sudah begitu aku belum sempat minta maaf karena sudah mencaci dia”
“Dia sudah pergi ninggalin aku duluan Dar. Pas itu aku nangis di depan bapaknya. Lalu meminta untuk mensyahadatkan ku di depan para santri. Aku pernah merasa sedekat itu dengan pesantren. Aku sebulan disana, mendalami niat supaya aku meniatkan diri masuk Islam karena aku jatuh cinta sama Allah. Bukan kepada makhluknya”
“Kamu nyesel?” tanyaku yang kemudian disambut gelengan oleh Putra
“Kalau aku dulu ga ngelewatin proses itu, hubungan kita akan lebih berat lagi Ndrull. Aku sayang sama kamu. Semua tentang kamu. Cara kamu support, cara kamu berusaha ada buat aku. Stay with me until forever. Kita belajar sama-sama” kata Putra dengan kesungguhannya
Sebuah janji bahwa ia akan tetap berada di sisi Putra apapun keadaannya. Mereka akan memulai hidup baru penuh rintangan yang harus mereka tuju.
.......
Tak terasa waktu Dara di Utrecht telah habis, setelah melewati masa sulit menempuh pendidikan di negeri orang. Tanpa sanak famili. Hari ini Dara akan diwisuda.
Pak Wilaga dan Bu Sinta kemarin baru saja mendarat di Bandara Sciphol Amsterdam untuk menghadiri undangan agung anaknya yang sudah setahun lebih ini berada di perantauan.
Tidak ada rasa yang lebih agung selain rasa bangga sekaligus haru melihat seorang anak yang dibesarkan dengan sungguh telah menggapai mimpinya.
“Pak”
Panggilan Dara menginterupsi Pak Wilaga dan istrinya yang tengah membelakanginya melihat teman seangkatan Dara yang keluar lebih dulu. Ia membalikkan badan, melihat putri satu-satunya berdiri menahan tangis seraya mengangkat hasil pendidikannya. Magister komunikasi antarbudaya.
Tangis mereka pecah. Usai sudah waktu membayar kebersamaan yang hilang, pengorbanan, panjatan doa dan segala harap yang tak pernah berhenti terucap.
“Rampung nduuk” suara ibunya bergetar dari balik punggungnya
“Gusti mboten nate sare, buk” tak henti-hentinya Pak Wilaga mengecup pelipis putri sematawayangnya ini.
“Selamat wisudanya, ini titipan dari Putra” sebuah suara berat berasal dari belakang Dara.
Dara lantas berbalik, menyadari siapa yang memanggilnya lalu menyalami dengan hormat lelaki yang lebih tua dari bapaknya itu. Pandu Adiwira, Ayah Putra. Menyerahkan buket bunga mawar biru kesayangannya dan dua kotak tipis berpita biru tua dan hitam , warna favorit kekasihnya itu.
“Terimakasih om” jawabnya seraya diiringi oleh kedua orang tua Dara memperkenalkan diri
“Kita makan malam, saya sudah reservasi. Mumpung kita bisa bertemu” Pak Wilaga terbelalak
“Tidak usah pak, merepotkan” kata Bu Sinta
"Tidak apa-apa. Kamu tau kan ke arah Restaurant Karel 5?" tanya Pak Adiwira pada Dara yang dibalas dengan anggukan
“Istri saya berencana memasak, bergabung saja pak kalau berkenan” Tambah Pak Wilaga
“Tidak apa-apa, mari. Naik mobil saya” Pak Wilaga mengangguk sungkan
Perasaan Pak Wilaga sudah dibuat ketar ketir sebelum mereka sampai ditempat makan yang dituju. Bagaimanapun Pandu Adiwira bukanlah sosok yang sudah mereka kenal. Boleh jadi ini adalah akhir cerita hubungan Dara dan Putra. Sebab di dunia ini siapa yang tak paham, status sosial tentu menjadi hal yang berarti untuk kelanjutan sebuah hubungan.
.......Wisudaaah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break Our Gap (REVISI)
De TodoAlbert Putra Adiwira pemilik label design HIDE Corp dan terkenal sebagai seorang workaholic. Jatuh cinta kepada Sandara Permata Wilaga, seorang penyiar radio. Sebagai seorang pebisnis yang hidup dalam keluarga menengah ke atas tentu mempunyai dunia...