"Mau kemana sih?" tanganku digenggam erat mengikuti kemana Putra membawaku
"Lho kok check in sih?? Kok pasporku ada di kamu" aku semakin kebingungan
Tak lama kulihat Pak Joni tergopoh-gopoh membawa satu koper"Maaf den, belum telat to ini?" Putra hanya mengangguk
"Selamat berlibur lho Mba Dara" aku kebingungan dan hanya mengangguk kikuk.
Aku berlalu digandeng Putra lagi menuju gate, ku tarik tanganku kasar karena merasa sudah tidak sabar dengan perilaku Putra yang seenaknya.
"Kasih tahu gak mau kemana? Sebelum aku marah" kataku dengan nada dingin penuh kekesalan
Dan tatapan Putra masih tersenyum jenaka penuh rahasia, seperti berkata, rasain lu penasaran. Lalu menyeretku .
Hingga disinilah akhirnya, kelas bisnis Garuda Indonesia. Pesawat kebanggaan negeri ini, seumur hidupku, aku tidak pernah memesan kelas bisnis. Selain buang-buang uang, harga tiket itu jelas tidak bisa terjangkau penghuni dompetku.
"Akhhh kecewa pakai kelas bisnis, ga bisa modusin kamu" Putra berkata sambil meletakkan tas kecilnya dan memandangku dari kursi bisnis yang besar dan bersekat.
"Selamat datang di Garuda Indonesia rute penerbangan Jakarta-Singapura..."
WHAT!!!!
Aku menolehkan kepalaku kearah Putra yang dengan santainya memasang muka menahan tawa. Senyum khas juara satu kepada lawannya yang kalah telak. Jakarta-Singapura pesan bussiness class? Aku tidak habis pikir dengan pola pikir orang kaya."Gilaaa!!" aku memukul dada dan bahunya.
Ia mencoba menghalau sambil terus tersenyum senang penuh arti.
"Rasain luu.. makanya jadi cewek yang peka" aku memukulnya lagi dan tanganku dihalau, masih digenggamnya.
"Kabur ke Belanda, balikan sama mantan.. ini belum seberapa" aku mendecak sebal.
"Kata siapa balika..."
CUP
Mataku terbelalak, dihadapan ku lelaki berpengalaman menaklukan hati wanita ini mengecupku, saudara-saudara. Baginya mungkin sangat biasa untuk sebuah mengecup pipi. Tapi bagiku, aku kaget bukan main. Dasar buayaaaaa.
Ku tarik tanganku yang masih digenggam Putra dan beralih memasang seat beltku. Wajahku panas, pipiku pasti memerah, dan hatiku berkobar menahan kesal, malu, sekaligus sedikit senang.
"Iyaa maaf udah nggak peka ya, Bapak Albert Putra Adiwira, saya sudah kena karmanya" Putra terkekeh mencubit pipiku pelan yang langsung ku tepis.
Menit-menit selanjutnya kami bercerita tentang apa yang tidak kami ceritakan satu sama lain selama ini. Makan es krim sajian dari maskapai. Mendengarkan musik. Sesekali ke toilet. Lalu tidak lama kami mendarat, apa sih yang diharapkan dari penerbangan sesingkat ini.
"Flight kali ini jadi aneh. Biasanya diem, sambil baca laporan dan jurnal." aku menoleh kearahnya yang sibuk mengecupi tanganku yang bebas dari aktifitas.
"Tapi asyik kan?" Tanyaku dan ia tersenyum. Manis sekali.
Putra sekarang lebih jujur tentang apa yang ia rasakan, ia sering mengutarakan kepadaku tentang hal-hal yang dulu, tak pernah sama sekali ia ceritakan. Kepulangannya ke Indonesia setelah kuliah membuat cerita baru bagiku, perempuan yang bercita-cita sekolah di luar negeri.
"Iya.. aku kan ga bosenin, cantik, ramah, suka cerita, nyenengin. Ga kaku kayak kamu" aku mengatakannya sambil memasang wajah narsis dan dibalas senyum remeh olehnya.
"Kamu pas tahu Tsura mau nikah sama Narend, gimana rasanya?" aku menggeser tubuhku menghadap Putra. Memperhatikan dagunya yang tampak sedikit biru bekas dicukur.
"Biasa aja. Aku dari awal cuma nganggep dia adik aku" aku menganggukkan kepalaku tanda paham.
"Ga patah hati gitu?" Tanyaku masih penasaran
"Lebih patah ditinggal ke Belanda tanpa kejelasan" sindirinya
"Bilang aja kakak adekannnn" Putra tersenyum. Lalu melarikan tangannya ke pipiku, mengusapnya lembut.
"Yang aku pikirin justru kamu. aku tahu kamu sepolos ini buat ga tahu permainan dunia kita. Bisnis dan segala tak tiknya" aku berkaca-kaca, benar kata Putra, aku terlalu polos untuk dunia gelap mereka.
Mataku tak melepaskan pandangannya dari mata hitam Putra yang kini tak terhalang Longines hitamnya. Putra sekeren ini, pantas jika ia menjadi incaran kelas atas para pebisnis. Aku memainkan kancing kaos polo yang ia pakai, sambil mendengar cerita Putra.
"Kita hidup di dunia yang kotor, dear. Apapun bisa terjadi untuk mempertahankan semuanya. Nikah sama saudara sendiri, perjodohan, perceraian, dan segalanya dipertaruhkan untuk saham juga posisi persaingan. Jangan kaget." Putra berusaha menjelaskan
"Gak sepenuhnya Narend salah, kalo jadi dia tetap bingung."
TES
Akhirnya menetes air mata yang sudah ku tahan sejak tadi. Aku tak paham apa yang aku rasakan, bukan sedih mengingat semua yang telah terjadi. Tapi hal yang paling sedih adalah aku menjadi orang terakhir yang tahu tentang ini, bukankah sangat bodoh. Bahkan disisa rasa sedihku ini, aku malah dihibur oleh Putra, orang yang ku jauhi.
"Ta..pi kenapa.. dia gak coba jelasin.. aku berasa bodoh banget." aku marah, memukul pelan dada Putra yang mencoba memelukku.
"Cowok semacam kita ga selalu berani, aku nyatanya, udah tahu kamu ke Belanda, ga pernah aku hubungin kan? Ada saatnya kita membiarkan orang yang kita sayang memilih sendiri jalannya, karena kita tahu gak mampu bikin orang itu bahagia."
"Udah ah gausah sedih, ini hari kita lho. Aku sengaja bikin ini semua buat kamu. Kita habisin waktu dengan bahagia kita. Okey?" Putra membersihkan sisa air mataku dengan tisu yang aku tahu dirogoh dari tas kecilku. Aku mengangguk menyetujuinya. Hari ini aku harus berbahagia, paling tidak untuk kemewahan yang Putra sajikan. Aku senorak itu kan jika berhadapan dengan kekayaan Putra.
-Changi Internasional Airport-
Sekitar pukul 12 kami mendarat di bandara Changi Singapura. Putra bergegas mengambil bagasi, sementara aku masih mengikutinya seraya menyesap Pink Blassom Frappucino yang Putra pesan tadi.
Aku sudah sangat pasrah sekali beberapa plan kurakit jika beberapa kemungkinan akan terjadi. Kemungkinan terburuk ya seperti beberapa hal yang ditakutkan oleh kebanyakan wanita yang diajak kencan. Ahh bukan. Itu hanya kemungkinan buruk ala otakku saja.
"Hahah jangan bete dong, katanya kencan?" Putra menggandengku keluar bandara seraya menyeret koper kami.
"I'll follow your rule"
Dan kejutan tidak hanya sampai disana. Keluar bandara sudah ditunggu driver yang langsung membukakan Ford All New Focus. Ingin rasanya berpikir jika sopir ini disewa dari mobil rental, tapi sepertinya tidak logis untuk Putra.
Aku hanya terdiam melihat sang driver menyapa Putra dengan sebutan tuan.
"Kok diem aja sih? Ga seneng ya?" Tanyanya seraya memainkan pipiku, hobi baru Putra.
Aku tersenyum samar. Masih jet lag dengan keexclusivan ini.
"Seneng sih, i'm just too much shock, your life soo much different than mine" aku menggelengkan kepala.
"Jangan mikir macem-macem, Just stay and I'll not let you go, sayang"
"But.."
"Sssttt... Simpulkan cerita setelah kamu menamatkannya, karena kesimpulan tidak akan akurat jika diambil di tengah jalan" Putra mencoba meyakinkanku.
Apalagi ini Tuhan, setelah drama ditinggal menikah diam-diam, aku akan berpangku kesah dengan derajat dan status sosial. Tantangan asmara macam apa ini.
Singapura,
Terimalah salam pembuka ku
Ku bawa satu teman
Cerita kami akan kami buka.-Sandara P Wilaga.
....
Aku Update.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break Our Gap (REVISI)
De TodoAlbert Putra Adiwira pemilik label design HIDE Corp dan terkenal sebagai seorang workaholic. Jatuh cinta kepada Sandara Permata Wilaga, seorang penyiar radio. Sebagai seorang pebisnis yang hidup dalam keluarga menengah ke atas tentu mempunyai dunia...