KEJUTAN

737 88 5
                                    

TANPA QUOTES☀
🍂
°
°
°
🍂
★SEBAIKNYA VOTTE DULU SEBELUM BACA★
🌝



🌝
🌹HAPPY READING🌹

★★★

Vespa yang dikendarai Brylian terlihat memasuki halaman rumah Dini. Dini memilih turun terlebih dahulu dan membiarkan Brylian memarkirkan motornya di bagasi.

"Masih sama. Gak ada yang berubah," ucap Brylian menatap rumah minimalis milik keluarga Dini tersebut. "Kamar kamu masih di sana 'kan?" Tunjuk Brylian pada sebuah kamar dengan balkon dan memiliki beberapa bunga segar di sana. Kamar yang menghadap tepat ke jalan raya dan sebuah rumah besar dengan model yang sama pula di depannya.

"Masih betah di sana. Udaranya sejuk dan gua bisa langsung mandengin jalanan sekitar," ucap Dini memandang kamar yang ditunjuk Brylian.

"Dulu setiap bangun pagi, kita berdua sering sekali saling pandang. Ingat 'kan?" tanya Brylian tanpa mengalihkan pandangannya dari objek yang sedang dalam obrolan mereka.

"Elu aja kali. Gua, mah, enggak, ya." Sinis Dini melebarkan langkahnya.

Ya! Dulu, mereka bertetangga. Dan rumah dengan model yang sama di depan sana, dulunya adalah milik keluarga Brylian. Namun, setelah ayahnya bangkrut, keluarga Brylian kembali ke kota asal mereka, Sidoarjo. Saat itu, Brylian sudah kelas tiga SMP. Saat di mana Dini mengalami keguncangannya, dihadapkan dengan kenyataan bahwa ibu tirinya-lah yang menyebabkan kematian ibu kandungnya dan membuat mentalnya menjadi hancur. Saat itu, ingin sekali Dini mengeluh pada Brylian. Namun, ketika terik menyapa dan saat ia menyibak kain gorden kamarnya, di depan sana sudah berbeda. Tak ada lagi Brylian yang selalu berdiri di sana dan melambaikan tangan seraya tersenyum padanya. Hingga akhirnya, jalan satu-satunya bagi Dini adalah bertindak brutal. Melampiaskan kesedihannya dengan mengacau dan menyakiti keluarganya sendiri. Ah, sudahlah! Perih bila kembali ke masa itu.

🍁

Dini membekap mulutnya dengan mata yang terbuka sempurna. Pemandangan di hadapannya mampu membuatnya terserang lumpuh mendadak. Ia berulang kali membaca sebuah baliho di depannya .

"

Kakak? Ngucap salam kalau masuk rumah," ucap Erlangga memukul pelan lengan Dini. Gadis itu masih mematung.

"Eh, ada Nak Bryli." Erlangga beralih tatap pada Brylian yang baru saja keluar dari bagasi.

"Assalamu'alaikum, Om." Brylian meraih tangan Erlangga dan mencium pundak tangan tersebut.

"Apa kabar,  Om?" tanyanya kemudian.

"Om baik. Kamu sendiri?"

"Alhamdulillah aku baik, Om." Brylian tersenyum memamerkan deretan giginya.

"Kakak?" panggil Erlangga mencoba mengeyahkan lamunan sang putri. Tak kunjung mendapat tanggapan, Erlangga menepuk sedikit keras bahu Dini. "Astagfirullah Kakak,"

"Hah?" Dini menautkan alisnya. "Eh, Papa. Assalamu'alaikum, Pa," Dini mencium pundak tangan Erlangga. "Sejak kapan di sini?" tanyanya kemudian.

"Tidak penting itu. Ada tamu kok gak diajak masuk?"

Dini memandangi Brylian sekilas.

"Pah? Papa liat itu gak?" tanya Dini menunjuk bagasi lama mereka yang sudah disulap dengan berbagai etalase di dalamnya.

ES dan BATU  (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang