"Gimana, Jon?" bisik Adisti. Padahal, sebenarnya dia tidak perlu berbisik. Hanya ada Adisti, Nafa, dan Jon di ruang tamu rumah kos. Bapak dan ibu pemilik kos sedang pergi keluar kota untuk menengok salah satu anak mereka yang baru melahirkan. Penghuni kos yang lain belum kelihatan satu pun, mereka masih terlelap pagi ini.
"Negatif," Jon yang sedang mengintip dari balik tirai menggeleng. "Enggak mungkin bisa kita menerobos wartawan sebanyak itu."
Jon sengaja datang pagi-pagi ke kos Adisti untuk menjemput dua sahabatnya itu dan berangkat kuliah bersama. Sejak wajahnya tayang di media sosial Ares, Adisti merasa lebih nyaman jika pergi bersama teman-temannya. Dia masih grogi berhadapan dengan wartawan, apalagi para pemburu berita itu bisa muncul sewaktu-waktu dari mana saja. Tidak kenal tempat dan waktu. Pernah, saat Adisti sedang membeli bubur di warung Supri, seorang wartawan yang menyamar menjadi pembeli mendadak menghampirinya. Bahkan, ada wartawan yang nekat nongkrong di samping pos satpam kampus. Dia menunggu Adisti lewat dengan kesabaran tingkat tinggi. Yang paling mengagetkan Adisti adalah wartawan yang muncul tiba-tiba dari ujung gang. Sampai saat ini, Adisti masih berhasil menghindar dari mereka. Namun, kian lama, wartawan yang memburunya kian banyak. Seperti pagi ini, puluhan wartawan bergerombol di pintu pagar rumah kosnya. Mereka menunggu Adisti keluar rumah untuk pergi kuliah.
Jawaban Jon membuat Adisti bangkit dari sofa dan ikut mengintip. "Apa ada jalan lain untuk keluar dari sini, Na? Jangan sampai kita terlambat ikut jadwal kuliah Bu Mitha."
"Ng ..., apa kita bolos kuliah aja?" usul Nafa
Adisti langsung menolak usul Nafa. "Ah, jangan, dong! Lo tahu sendiri Bu Mitha. Sekali bolos, bisa-bisa-bisa kita enggak boleh ikut ujian." Bagi Adisti, urusan pendidikan memang nomor satu. Dia selalu berusaha jadwal kuliahnya mulus tanpa gangguan, kecuali oleh hal-hal yang sangat penting. Kerumunan wartawan di depan sana jelas tidak termasuk kategori hal penting untuk Adisti. Benaknya bekerja keras mencari jalan untuk bisa menembus "kepungan" ini.
Nafa ikut mengintip. "Tapi, gimana caranya menembus kerumunan wartawan sebanyak itu? Bisa gepeng gue didesak-desak orang segitu banyak." Nafa menggeleng cepat, membuang bayangan mengerikan jika dirinya sampai berada di tengah-tengah kerumunan wartawan.
"Maaf, ya. Gara-gara gue, lo berdua jadi ikut kerepotan." Adisti terduduk lemas di sofa. "Lebih baik lo keluar duluan aja, deh. Mereka pasti mau memberi jalan. Nanti gue pikirin sendiri cara untuk keluar dari sini."
"Itu namanya enggak setia kawan. Masa kita ninggalin lo sendirian." Kali ini, giliran Jon yang tidak setuju. Dia melangkah menjauhi jendela, lalu duduk di depan Adisti.
"Tapi, lebih kacau kalau kita bertiga enggak kuliah."
Klik. Nafa menjentikkan telunjuk dan ibu jarinya. "Kita telepon Ares aja, pinjam bodyguard. Urusan menembus kerumunan segitu pasti gampang buat mereka."
"Iya, sih." Jon mengangguk. "Tapi, pas bodyguard Ares sampai sini, jam kuliah Bu Mitha udah selesai."
Adisti menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Think! Think, Adisti! serunya dalam hati. Dan ..., "Gue ada akal. Gimana kalau kita lewat jalan belakang?"
Nafa menggeleng. "Adisti, lo lupa, ya? Pagar belakang rumah ini kan tembok. Enggak ada pintunya dan kita bukan mahluk halus atau manusia sakti yang bisa berjalan nembus tembok."
"Enggak perlu jadi manusia sakti buat menembus tembok, Nafa. Kita panjat tembok itu pakai tangga aluminium yang ada di gudang."
Jon segera berdiri, menyambut usul Adisti. "Ayo! Tunggu apa lagi?" Jon menyambar ranselnya. Adisti dan Nafa segera berlari ke gudang tempat menyimpan macam-macam barang. Jos mengangkat tangga aluminium dan meletakkannya rapat ke tembok pagar belakang rumah setinggi dua meter itu. Dia mengguncang tangga itu dua kali untuk menguji apakah posisinya sudah cukup kuat menopang mereka "Udah siap? Siapa yang naik duluan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[CAMPUS COUPLE] Dewi Muliyawan - Love Scenario
RomanceAdisti sedang merintis karier di dunia hiburan. Di sela-sela kesibukannya kuliah, dia rajin ikut casting. Sayang, Adisti yang sesungguhnya punya bakat besar dalam seni peran belum menemukan keberuntungan. Hanya beberapa peran kecil yang dia dapatka...