Sore itu Adisti dan Ares duduk di ruangan Berto. Adisti lega sekali, akhirnya mereka bisa bertemu untuk membahas perkembangan proyek love scenario ini. Paling tidak, Adisti merasa perlu arahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.
Berto sedang senang. Wajahnya tampak bercahaya dan senyum tak lepas dari bibirnya. "Aku senang karena kelihatannya semua berjalan mulus." Matanya berbinar-binar menatap Adisti. "Sekarang sudah mulai banyak tawaran pekerjaan datang untuk kamu. Ada beberapa permintaan untuk jadi bintang tamu di acara talkshow. Kami sedang atur jadwalnya. Kemungkinan pekerjaan untuk sinetron dan rekaman juga sedang kami bicarakan."
Keceriaan di wajah Berto menular kepada Adisti. Akhirnya, semua yang dia lakukan memberikan hasil. "Iya, Mas. Trims banget." Adisti melirik Ares yang duduk di sampingnya dengan gaya seenaknya.
"Jadwal pertama, kalian diundang talkshow di Nusa TV."
Rasa gugup Adisti muncul. Dia tampak tegang. "Eh ..., oh ..., kapan, Mas?"
"Lusa, siaran langsung pukul sembilan pagi. Kamu harus sudah standby pukul tujuh di studio, ya. Ingat, tidak boleh terlambat." Kata-kata tegas dari bibir Berto berarti perintah yang tak boleh terbantahkan.
Masih banyak nasihat-nasihat dari Berto demi kelancaran proyek ini. Adisti mendengarkan dengan serius. Dia senang mendapat petunjuk untuk menghadapi wartawan. Rasa percaya dirinya semakin meningkat. Adisti merasa lebih siap menghadapi serbuan pertanyaan dari para pemburu berita. Sementara Ares, seperti biasa, tampak acuh tak acuh. Pandangannya lebih banyak tertuju ke pemandangan di luar jendela. Kata-kata Berto seakan masuk ke telinga kiri Ares dan langsung keluar dari telinga kanan. Namun, Berto sama sekali tidak keberatan dengan sikap Ares. Dia tahu walau sikapnya kelihatan tidak peduli seperti itu, sesungguhnya Ares memperhatikan. Pasti Ares sudah menyimpan semua instruksi yang penting dalam benaknya yang cerdas.
***
"Sepertinya lo kurang suka mendapat undangan talk show ini," kata Ares tiba-tiba kepada Adisti. Meeting sudah berakhir dan mereka sedang melangkah keluar dari ruang kerja Berto.
"Eh, bukan gitu," kata Adisti cepat. Dia tidak mau cowok ini salah tanggap. Bagaimanapun, Adisti merasa harus berterima kasih atas bantuan Ares. "Gue cuma lagi mikir ...."
"Tenang aja. Kalau ada pertanyaan yang enggak bisa lo jawab, nanti gue yang bicara."
Tumben nih cowok, lagi baik hati rupanya. "Makasih, tapi terus terang bukan itu yang sedang gue pikirin."
"Terus apa?"
"Gue lagi mikirin outfit buat acara di TV nanti."
Ares tampak menahan tawa, "Kenapa?" tanya Adisti heran.
"Enggak, lo lucu banget." Ares benar-benar tertawa sekarang. Alis Adisti terangkat. Dia tidak merasa sedang bercanda atau melawak. Adisti tidak tahu di mana letak kelucuan yang dimaksud Ares.
"Ekspresi lo itu serius banget." Senyum masih terkembang di wajah Ares. "Gue kira lo mikirin apa gitu."
Kini Adisti ikut tertawa. "Masa, sih?"
"Soal outfit itu masalah kecil. Ayo, gue anter ke mal."
Adisti terbelalak menengar ajakan Ares. "Serius?" katanya masih kurang percaya. Kok bisa cowok yang biasanya tidak peduli ini tiba-tiba berbaik hati? Rasanya ini di luar skenario yang telah direncanakan.
Ares tidak menjawab, hanya mengedipkan sebelah matanya.
***
Ares membawa Adisti ke salah satu mal paling elite di Jakarta. Sungguh waktu yang tepat untuk mengunjungi mal karena pengunjungnya tidak terlalu ramai. Ini hari kerja dan jam makan siang sudah lewat, sedangkan sore belum lagi datang. Itu pun langkah mereka masih terhenti sesekali. Penggemar-penggemar Ares tidak ingin melewatkan waktu untuk berfoto bersama idolanya. Adisti dengan senang hati membantu mengambilkan gambar Ares dengan mereka. Diam-diam, Adisti melihat cara Ares berinteraksi dengan para penggemar. Sopan, tetapi tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[CAMPUS COUPLE] Dewi Muliyawan - Love Scenario
RomanceAdisti sedang merintis karier di dunia hiburan. Di sela-sela kesibukannya kuliah, dia rajin ikut casting. Sayang, Adisti yang sesungguhnya punya bakat besar dalam seni peran belum menemukan keberuntungan. Hanya beberapa peran kecil yang dia dapatka...