Hening terasa di kamar kos Adisti dan Nafa. Mereka berdua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Nafa duduk bersandar di tempat tidurnya, membaca novel horor kegemarannya. Ini memang sedikit aneh. Nafa penakut berat, tetapi punya hobi membaca cerita yang seram-seram. Dan, kalau sudah ketakutan, dia akan ribut meminta Adisti untuk mengantarnya ke mana-mana, walaupun di dalam rumah.
Telinga Nafa tertutup earphone yang memainkan lagu-lagu K-Pop. Sebagai mahluk dengan kemampuan multitasking tingkat tinggi, dengan dua kegiatan itu dia masih bisa memperhatikan sahabatnya. Sesekali matanya berpindah dari buku di tangannya kepada Adisti yang sedang duduk di meja belajar. Nafa sudah mendengar kejadian antara Adisti dan Isabel. Jon serta Adisti sendiri yang bercerita mengenai kejadian sore tadi. Tentu saja dia ikut kesal dengan perlakuan Isabel terhadap Adisti. Ugh ..., andai Nafa ada di sana, pasti semua itu tidak akan terjadi. Dia tidak akan membiarkan Isabel berlaku semena-mena kepada Adisti. Namun, kini pikiran berandai-andai itu harus disingkirkan karena Nafa melihat sahabatnya itu sedang resah.
Sudah setengah jam Adisti duduk bertopang dagu di depan laptop yang terbuka. Dia berusaha mengerjakan tugas kuliahnya, sayang pikirannya menolak untuk fokus. Sesekali, terlihat jari-jarinya menggerak-gerakkan kursor dan menekan tombol kibor asal-asalan. Jelas tidak ada kata-kata yang tertulis di layar, hanya tertera deretan huruf tanpa makna.
Pikiran Adisti masih kacau memikirkan Isabel dan love scenario antara dirinya dan Ares. Proyek itu sudah berjasa sangat besar untuk menaikkan namanya. Dari Adisti yang "sekuter" alias selibriti kurang terkenal menjadi artis yang paling dikejar-kejar wartawan. Dari Adisti yang harus bekerja keras untuk bisa muncul selintas di TV hingga sekarang dia harus menyeleksi tawaran yang masuk. Waktunya yang terbatas membuat tidak semua tawaran bisa diterima. Namun, gara-gara proyek itu pula Isabel mengecapnya sebagai perebut pacar orang. Membuat Adisti harus menerima teror terus-menerus. Kehidupannya yang tenang terasa sudah lama berlalu.
Begitu dalam Adisti tenggelam dalam pikirannya sendiri sampai tidak sadar bahwa Nafa memperhatikannya sedari tadi. Maklum saja, syok masih menghantui perasaan dan pikiran Adisti akibat kata-kata keras dan kasar yang dilontarkan Isabel di tempat umum. Masih terbayang ekspresi dan suara Isabel saat sedang meluapkan emosinya. Juga wajah Ares yang kebingungan saat Adisti bergegas pulang dengan Jon. Kasihan Ares, yang tidak tahu ada kejadian apa malah ikut mendapat perlakuan tidak enak. Namun, sedikit banyak ini juga gara-gara Ares, 'kan? Atau Adisti ikut bersalah juga? Pusing. Adisti menggeleng pelan. Berusaha menjernihkan pikirannya.
Melihat Adisti galau seperti itu, Nafa tidak tahan lagi. Dia meletakkan buku yang sedang dibacanya di samping bantal, lalu kakinya mencari-cari sandal kamar sebelum melangkah mendekati Adisti. Ditariknya bangku dan duduk di samping cewek itu.
"Masih bete, Dis?" tanyanya hati-hati. "Masih kepikiran peristiwa tadi, ya?"
Adisti mengangkat wajahnya dan memandang Nafa. Dia mengangguk pelan. "Iya, Na. Gue enggak pernah nyangka Isabel bakal bereaksi kayak gitu. Dia bahkan enggak mau dengerin penjelasan gue."
"Yah, dia terbakar emosi, jadi enggak bisa berpikir jernih." Tumben Nafa bisa bicara serius.
Adisti memijat kepalanya yang berdenyut. "Gue sama sekali enggak bermaksud menjadi orang ketiga."
"Gue tahu. Lo tuh bukan tipe orang yang berminat sama petualangan cinta kayak gitu."
"Tapi, Isabel enggak percaya."
"Sebenarnya, mereka berdua itu pacaran enggak, sih? Jadi penasaran gue."
Adisti mengangkat bahu, "Itulah, gue juga bingung. Kata Ares, sih, mereka sudah putus. Tapi, menurut Isabel masih pacaran. Gue enggak tahu mana yang benar."
KAMU SEDANG MEMBACA
[CAMPUS COUPLE] Dewi Muliyawan - Love Scenario
RomanceAdisti sedang merintis karier di dunia hiburan. Di sela-sela kesibukannya kuliah, dia rajin ikut casting. Sayang, Adisti yang sesungguhnya punya bakat besar dalam seni peran belum menemukan keberuntungan. Hanya beberapa peran kecil yang dia dapatka...