Bab 21: Pertengkaran

1.7K 233 27
                                    

Udara sejuk dalam apartemennya tidak mampu memadamkan amarah di balik dada Isabel. Dia berjalan mondar-mandir. Rasanya campur aduk. Sesekali, kebiasaan buruknya muncul: menggigit ujung-ujung kukunya. Masa bodoh dengan kuku-kuku cantiknya yang baru saja dimanikur.

Emosi Isabel muncul sejak anak buahnya melaporkan keberadaan Adisti dan Ares di kafe. Dalam hati, dia mengumpat mereka yang dianggapnya mencuri-curi kesempatan untuk pergi berdua. Sengaja dia menyuruh orang untuk selalu mengikuti Adisti dan Ares. Orang-orang suruhannya itu rutin memberi laporan. Selama ini aman-aman saja. Tidak ada yang mencurigakan. Kegiatan mereka terbatas urusan pekerjaan. Latihan menyanyi, syuting talk show di TV, serta foto-foto untuk Instagram—walaupun untuk itu mereka berpose mesra, tetapi Isabel masih bisa mengerti karena ini untuk kepentingan pekerjaan. Baru kali ini dia menerima laporan soal mereka berduaan bukan di tempat kerja.

Ting! Ting! Ting!

Berturut-turut pesan masuk ke ponselnya.Ini dia yang Isabel tunggu sejak tadi. Laporan real live. Buru-buru Isabel membukanya. Foto-foto yang dilihatnya sungguh mengejutkan hingga dia terhuyung dan harus meraba-raba untuk meraih sandaran sofa, lalu mengempaskan tubuhnya ke sana. Matanya membelalak melihat foto-foto yang dikirim orang suruhannya. Terlihat Ares memijat kepala Adisti. Ugh, dada Isabel terasa terbakar. Ada juga foto Adisti dipeluk Ares. Ah, sekarang kepala Isabel terasa mendidih.

Kurang ajar! Sialan! Tidak bisa dipercaya! Memanfaatkan kesempatan! Bibirnya berdesis melontarkan jutaan makian. Isabel memutar-mutar ponsel di tangannya. Ini tidak bisa dibiarkan. Benaknya bekerja keras mencari strategi untuk melampiaskan emosinya.

***

"Eh, gue duluan, ya!" Adisti bergegas memasukkan pulpen dan buku-bukunya ke tas.

"Mau ke kantin, Dis? Buru-buru amat! Lapar? Nih, gue bawa roti." Jon merogoh ranselnya yang buluk karena jarang dicuci.

"Jangan mau, Dis. Rotinya udah gepeng ketindas buku-buku," cegah Nafa.

"Biar gepeng juga rasanya tetap roti kali. Enggak bakal berubah. Mau enggak, Dis? Rasa cokelat, nih. Enak banget." Jon mengeluarkan roti yang, benar seperti kata Nafa, bentuknya sudah pipih karena impitan buku-buku kuliahnya yang tebal.

"Thanks, Jon. Gue ada janji ketemuan sama Isabel."

"Cieee ..., akrab, nih, sekarang sama Nenek Sihir," goda Nafa.

"Hus, sembarangan panggil-panggil Nenek Sihir," tegur Adisti sambil tersenyum, tahu sahabatnya itu hanya bercanda.

"Ares tahu enggak lo ada janji gini, Dis?" Nafa mengeluarkan jurus kepo.

"Enggaklah. Gue enggak pernah cerita soal Isabel ke dia."

Nafa mengerutkan dahinya dengan heran. "Kayaknya lebih baik lo cerita, deh, sama Ares. Biar gimana, kan lo berdua ketemuan ngomongin soal Ares."

"Ih, sok tahu." Adisti tersenyum karena tebakan Nafa yang sungguh tepat.

"Tahulah. Apa lagi yang diobrolin dua cewek selain cowok ganteng. Ya, 'kan, Jon?"

"Mana gue tahu," sahut Jon dengan mulut penuh terisi roti yang akhirnya dia makan sendiri. Berhubung dua temannya tidak berminat. "Gue kan bukan cewek. Atau maksud lo gue cowok gantengnya, ya?"

"Huuu ...." Nafa protes dan melemparkan sepotong penghapus pensil, yang melayang dan mendarat mulus di kepala Jon. "Perlu ditemenin? Gue masih curiga sama itu Ne—" Nafa membatalkan kata-katanya melihat Adisti memandang protes. "Gue curiga sama dia. Nanti lo diapa-apain lagi di sana."

"Aduh, siang-siang begini emang bisa ngapain? Tenang, Fa. Semuanya dijamin aman. Gue kan janjiannya di restoran. Tempat umum yang banyak orang. Lagian, katanya lo ada janji ngerjain tugas sama Amel."

[CAMPUS COUPLE] Dewi Muliyawan - Love ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang