Isabel mengangkat wajahnya. Adisti terkejut melihat wajah Isabel yang pucat, seakan cewek itu akan segera jatuh pingsan. Rambutnya tampak lepek. Hilang sudah kesan supermodel dengan dandanan sempurna yang biasa terlihat. Tangan Isabel tampak bergerak-gerak gelisah memainkan ponselnya.
"Ada apa?" tanya Adisti setelah duduk di depan Isabel.
"Aku datang ke sini karena cemas."
Adisti diam, menunggu lanjutan kata-kata Isabel.
"Sejak tadi siang, aku mencoba menghubungi kamu, tapi tidak pernah berhasil. Teleponku di-reject, lalu tidak pernah diangkat."
"Astaga!" Adisti menepuk dahinya. Menyumpahi kebodohannya sendiri dalam hati. Dia ingat sudah mengatur ponselnya dalam mode silent. Setelah pulang dari meeting tadi, Adisti langsung sibuk mengerjakan tugas kuliah. Ponselnya masih di dalam tas. Sengaja tidak disentuhnya agar lebih berkonsentrasi mengerjakan tugas. Pantas Isabel kelihatan panik dan cemas seperti ini. Belum pernah Adisti sulit dihubungi selama ini. Buru-buru dia meminta maaf.
"Maaf, Isabel. Aku enggak denger telepon dari kamu. Hape aku dalam mode silent, soalnya."
Isabel menatap Adisti dengan sorot mata yang sangat dingin. Adisti sampai merinding ditatap seperti itu. Perlahan, Adisti melirik ke kanan dan kiri. Memperkirakan jarak untuk melarikan diri jika Isabel nekat menyerangnya. Untung di atas meja tidak ada benda berbahaya seperti asbak atau vas bunga yang bisa dengan mudah menjadi alat untuk menyerang. Meja di antara Isabel dan Adisti hanya berhias selembar taplak batik yang mulai usang. Sedikit rasa aman menyusup dalam hati Adisti. Dia tahu pasti Nafa mengintai dari ruang makan di belakang ruang tamu. Sahabatnya itu tadi ikut turun bersama Adisti, tetapi menolak untuk ikut menemui Isabel di ruang tamu. Nafa tidak ingin ikut campur terlalu jauh dengan urusan pribadi antara Adisti dan Isabel. Akan tetapi, dia meyakinkan Adisti akan menunggu di ruang makan.
Tentu saja Isabel tidak berbuat senekat dalam bayangan Adisti. Hanya sekejap, pandangan dingin itu berganti dengan kesedihan. Suara Isabel bergetar menahan tangis. "Please jangan pernah seperti itu lagi. Aku cemas setengah mati, tahu!"
"Sori." Adisti tidak tahu harus menjawab apa lagi selain minta maaf.
"It's okay. Terus gimana meeting-nya tadi siang? Lancar?"
"Mmm ... ya gitu, deh. Prisma Picture menawarkan peran untuk proyek film baru mereka."
"Sebentar, kalian berdua akan dipasangkan sebagai peran utama di film Prisma Picture?" Kekecewaan terpancar sejenak di wajah Isabel. Hanya beberapa detik. Begitu Adisti mengerjap, wajah Isabel kembali datar.
"Iya." Adisti mengangguk.
"Kamu terima tawaran itu?"
Adisti sedikit terperangah. Pertanyaan yang aneh menurutnya. Tentu saja Adisti menerima. Ini impiannya. Mendapatkan peran utama dari production house ternama.
"Iya."
Adisti terkejut setengah mati karena jawaban singkatnya ternyata menyebabkan hal yang tak terduga. Isabel menangis tersedu-sedu. Dia menekuk tubuh, memeluk erat bantal sofa yang ada di pangkuannya.
Adisti cepat bergerak dan pindah ke samping Isabel. Dia mengelus-elus punggung cewek itu. "Isabel ... kamu kenapa?" Adisti bertanya kebingungan. Berharap isak Isabel mereda. Tidak enak jika ada drama malam-malam begini dan terdengar ibu kos dan teman-temannya.
Tangis Isabel bertambah keras. Adisti melihat Nafa mengintip dari balik tirai ruang dalam. Adisti bertanya tanpa suara kepada Nafa. Nafa juga tampak kebingungan, dia mengangkat bahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[CAMPUS COUPLE] Dewi Muliyawan - Love Scenario
RomanceAdisti sedang merintis karier di dunia hiburan. Di sela-sela kesibukannya kuliah, dia rajin ikut casting. Sayang, Adisti yang sesungguhnya punya bakat besar dalam seni peran belum menemukan keberuntungan. Hanya beberapa peran kecil yang dia dapatka...