Bab 2: Pacar Setting-an

2.7K 347 10
                                    

Spontan, Adisti menoleh, mengikuti arah pandangan Berto. Dari balik kaca, terlihat sosok seorang cowok kurus dan tinggi. Profil wajahnya menarik, dengan mata yang bersinar tajam. Dia mengenakan celana dan jaket jis. Rambutnya lurus dan sedikit gondrong. Kaca mata hitam bergantung di saku jaketnya. Dia langsung membuka pintu dan masuk. Tidak mengetuk pintu atau mengucapkan salam karena yakin kehadirannya selalu diharapkan.

"Halo, Mas Berto. Gimana proyek film drama yang baru itu? Aku jadi bintang utamanya lagi, 'kan?"

Gaya bicaranya cuek. Kepercayaan dirinya terpancar kuat. Tentu saja Adisti mengenal cowok itu. Semua orang mengenalnya. Dia Ares, bintang muda yang namanya sedang meroket. Artis multitalenta yang baru saja dihujani ribuan puja-puji karena sukses memerankan tokoh utama di film drama remaja. Single yang baru diluncurkannya diterima pasaran dengan hangat. Dia juga laris membintangi sederet iklan. Sepertinya, apa pun yang diperankan oleh Ares selalu sukses. Tak heran dia menjadi anak emas Berto. Pelayanan kelas atas dan fasilitas supermewah lekat pada sosok Ares.

"Pasti, itu sudah pasti," Berto mengangguk-angguk. "Minggu lalu, aku sudah bertemu langsung dengan produsernya. Semua lancar. Kontrak sedang disiapkan." Senyum di bibir Berto merekah lebar. Wajanya mendadak cerah menyambut kedatangan artis tambang emasnya. "Ayo duduk, duduk .... Kapan pulang dari New York? Selesai liburan siap, dong, terima tawaran-tawaran baru."

Ares duduk di samping Adisti. "Siap, Mas. Ada proyek apa saja, nih, buat aku?" tanyanya sambil bersandar santai.

"Banyak, Res. Aku kirimkan lewat e-mail saja, ya, tawaran-tawaran yang datang. Biar enak diskusinya. Nanti kalau sudah deal, baru kontraknya diantar langsung ke rumah."

Mereka segera terlibat pembicaraan seru tentang pekerjaan-pekerjaan yang datang untuk Ares. Beragam tawaran pekerjaan untuk Ares yang sukses bikin Adisti ngiler. Bukan hanya nilai kontraknya yang berkali-kali lipat honor Adisti, tetapi juga bobot pekerjaannya yang keren banget. Walaupun dia suka juga bisa mendengarkan diskusi antara Berto dan Ares, tetapi Adisti bingung juga dibiarkan menjadi penonton seperti ini. Dia merasa tidak berkepentingan dengan diskusi dua orang itu. Namun, juga merasa tidak enak memotong diskusi untuk pamit pulang. Adisti bimbang antara tetap duduk atau harus pamit.

"Mas, aku ... pulang dulu, ya ...," akhirnya Adisti berkata ragu.

Berto tersentak, seolah baru ingat bahwa ada Adisti di situ. "Eh, bentar-bentar, tunggu dulu, Dis."

"Iya, kami udah selesai, kok." Ares berdiri. "Silakan lanjutkan, saya ada keperluan lain."

"Tunggu, Res. Duduk dulu sebentar. Ada yang masih ingin aku bicarakan," Berto bicara dengan serius.

Ares mengangkat bahu, lalu mengempaskan badannya ke kursi dengan gaya malas-malasan.

"Kenalkan, Res, ini Adisti. Talent di sini juga."

Ares melirik sekilas, lalu mengulurkan tangan. "Ares," katanya.

Adisti juga menyebutkan namanya. Genggaman Ares terasa kukuh.

"Jadi gini, Res. Aku mau minta tolong. Adisti ini kan sedang merintis karier. Aku percaya banget Adisti punya potensi buat jadi bintang. Dia cuma perlu sentuhan sensasi sedikit untuk mendongkrak namanya."

Kening Ares berkerut mendengar penjelasan Mas Berto. "Okeee ...," katanya perlahan, mencoba mencerna. "Hubungannya dengan aku apa, ya, Mas?"

Berto batuk kecil, mengulur waktu sebelum melanjutkan. Memilih kata-kata yang tepat. "Gini, Res. Rencananya aku ingin mendapat sensasi dengan mengekspos seolah-olah kalian punya hubungan istimewa."

Hah?

Ares dan Adisti sama-sama bengong mendengar kalimat Mas Berto. Ekspresi mereka sama. Mata terbelalak, mulut menganga. Lalu, perlahan sama-sama menoleh. Saling pandang.

"Hubungan ... istimewa ... seperti?" Ares mencari penegasan dari Berto.

"Yah ..., hubungan istimewa. Antara pria dan wanita. Pacaran. Jangan takut," kata Berto cepat ketika melihat wajah Ares menampakkan ekspresi tidak suka. "Ini bukan pacaran sungguhan, tapi setting-an."

"Mas, aku enggak butuh sensasi murahan seperti ini untuk mendongkrak popularitas." Ares terlihat sangat tersinggung.

Terus terang, Adisti pun terganggu dengan usulan Berto. Juga reaksi Ares. Sensasi murahan, dia bilang? Sembarangan! Okelah, dia tidak setuju dengan usul Berto, tetapi tidak perlu mengeluarkan kata-kata yang tidak enak seperti itu, 'kan?!

"Iya ..., iya, kamu memang sudah terkenal dan sukses. Justru aku ingin minta bantuan kamu bikin sensasi ini untuk menaikkan nama Adisti."

"Sukses dengan mengandalkan kemampuan di dunia akting pastinya lebih bagus daripada memanfaatkan berita setting-an seperti ini," komentar Ares dingin. Dia menatap Berto dengan wajah datar.

Bibir Adisti terbuka hendak bicara. Dia juga tidak ingin disepelekan seperti ini oleh Ares atau siapa pun juga. Namun, lirikan tajam Berto mengurungkan kata-kata Adisti.

"Aku ngerti, Res .... Ngerti banget," Berto mencoba menyejukkan suasana yang mulai memanas.

"Aku enggak pernah memanfaatkan sensasi untuk menaikkan namaku. Sukses datang berkat kerja keras dan bakat. Itu resep suksesku, barangkali ada yang mau mengikuti." Ares melirik tajam ke arah Adisti.

Adisti pucat menahan emosi. Kata-kata Ares menusuk egonya. Belum pernah dia merasa dipermalukan seperti ini. "Mas, aku enggak—" Adisti berusaha menolak. Setengah tersinggung karena harus mendongkrak kariernya dengan gosip seperti ini. Namun, kata-katanya langsung dipotong Berto.

"Betul, Res. Tapi, menurut gue Adisti sangat berbakat. Kamu harus lihat, akting dan suara Adisti tuh oke banget. Dia juga pekerja keras. Cuma—"

"Cuma apa?!" tanya Ares memotong dengan ketus.

"Hoki yang dia belum dapat. Makanya, tolong sedikit. Adisti cuma perlu sedikit bumbu sensasi untuk menaikkan namanya."

Ares berdiri cepat. Membetulkan jaketnya, "Sorry, Mas. Aku enggak bisa bantu. Cari orang lain saja." Lalu, dia pergi begitu saja, menutup pintu dengan keras.

Adisti menunduk sedih. Dia menghela napas panjang, Kesedihannya jadi berlipat-lipat. Sudah menerima penolakan casting, kini ditambah lagi dengan penolakan dari Ares. "Aku juga pulang dulu, Mas," katanya lirih.

Berto bangkit dan mengantar Adisti sampai ke pintu. "Sorry, ya, Dis. Jangan sedih, dong. Nanti aku cari jalan lain."[]

[CAMPUS COUPLE] Dewi Muliyawan - Love ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang