Special Chapter: Kala Nafa Cemburu

1.3K 169 39
                                    


Dengan terburu-buru, Jon memarkir mobilnya asal-asalan. Untung lot parkir di sebelan kanan dan kirinya masih kosong, jadi tidak ada yang protes karena sedan abu-abu itu parkir sedikit miring.

Setengah berlari, Jon melangkah menuju kelas. Hari ini ada tes. Biasanya, setiap kali ada ujian, teman-temannya akan datang lebih pagi supaya bisa duduk di baris belakang. Konon, posisi menentukan prestasi. Jon menghindari baris depan bukan karena dia jadi kesulitan menyontek. Dia gugup saja mengerjakan ujian di bawah tatapan mata elang dosen galak. Bisa-bisa jawaban yang tadinya ada di dalam otak, jadi menguap gara-gara grogi.

Benar saja, kelas sudah penuh. Ramai seperti pasar. Jon melongokkan kepala melewati pintu, mencari-cari bangku kosong di deretan belakang. Sial! Full. Iyalah, siapa juga yang mau bolos kuliah jika ada tes? Untungnya, nasib baik masih berpihak pada Jon. Di deretan kursi dua baris dari belakang, dia melihat Nafa melambai-lambaikan tangan.

"Jooon ...! Sebelah sini!"

Cengiran lebar langsung terlihat di wajah Jon. Tidak sia-sia dirinya memiliki dua sahabat rajin seperti Nafa dan Adisti. Selamatlah Jon dari keharusan duduk di depan.

Nafa langsung mengambil tempat pensil dari meja di antara dirinya dan Adisti. Taktik lama yang masih sering digunakan untuk mencegah mahasiswa lain duduk di kursi itu. Semua orang tahu bahwa jika ada barang yang tergeletak di atas meja (bisa buku, tempat pensil, atau tas), berarti tidak bisa lagi duduk di situ. Sudah "dipesan". Sedikit curang memang, mengingat seharusnya siapa pun yang datang duluan berhak duduk di kursi yang masih kosong. Yang ekstrem biasanya mahasiswa yang datang lebih awal, lalu menyebarkan isi tasnya di satu deretan langsung untuk teman-teman satu gengnya yang datang belakangan. Nekat "menyewa" terlalu banyak kursi dengan cara ini berarti harus siap menerima tatapan jengkel dari mahasiswa lain. Berhubung Nafa hanya menyimpan satu kursi untuk Jon, dia masih aman dari kesewotan teman-temannya.

"Wah, asyik, nih, gue duduk di tengah. Thanks berat," kata Jon kepada Adisti.

"Woi!" Nafa menepuk pundak Jon sambil tertawa. "Tempat pensil gue yang nyelametin kursi lo. Kok thanks-nya sama Adisti doang?"

"Yeee ..., sabar, dong, Non." Jon menyengir sambil mengusap-usap pundaknya. Meski bercanda, tetapi pedas juga tepukan Nafa. "Kan satu-satu bilang tengkyu-nya. Tenang, semua juga bakal kebagian. Enggak usah rebutan."

Adisti tertawa melihat perdebatan di antara dua sahabatnya.

Nafa mencibir. "Ya makasih dulu sama gue. Berkat tempat pensil gue yang imut ini, jatah kursi lo aman."

"Terima kasih, Nafa yang Cantik," kata Jon singkat, lalu menoleh lagi ke arah Adisti. "Eh, btw, gue bawa titipan lo." Jon mencari-cari sesuatu dalam ranselnya yang besar.

"Apaan apaan?" Nafa melongok ingin tahu. Ada rahasia apa ini? Kok dia tidak tahu soal titipan?

"Kepo, deh! Ganggu aja," Jon bercanda, tetapi hari ini Nafa sedang sensi, jadi dia cemberut. "Nih, muffin coklat titipan lo, Dis!" Jon mengeluarkan kotak cantik bertuliskan Delisia Bakery. Kemarin, Jon bercerita tentang enaknya muffin dari toko kue itu dan Adisti jadi tergoda untuk mencoba.

"Waaah ..., asyiiik!" Aroma lezat langsung menguar saat Adisti membuka kotak kue itu. "Makasih, ya!"

"Lho, lho, bagian gue mana?" Nafa membelalak melihat Jon menutup ranselnya. Tidak terlihat tanda-tanda akan ada satu boks lagi keluar dari sana.

"Ya kemarin kan gue nanya, katanya lo enggak mau muffin. Lagi diet."

"Iiih, pilih kasih!" Nafa melipat tangannya di dada. Matanya menyipit lucu. "Enggak sensitif. Kalau gue bilang enggak mau, itu berarti gue mau."

[CAMPUS COUPLE] Dewi Muliyawan - Love ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang