5

968 99 2
                                    

Brak!

Sebuah bola Bludger menghantam sapu terbang Draco, membuatnya kehilangan kendali dan terjatuh dengan cepat ke arah tanah. Semua penonton di stadion panik melihat kejadian itu. Tanpa berpikir panjang, aku langsung terbang ke arah Draco, menangkapnya sebelum ia jatuh lebih jauh.

Suasana stadion berubah hening. Semua orang terkesiap melihatku melayang di udara tanpa menggunakan sapu terbang.

“Alois, apa yang kau lakukan?! Semua orang melihatmu!” bisik Draco kaget.

“A-aku tidak tahu. Ini refleks!” jawabku dengan suara gemetar.

Aku membawa Draco turun ke tanah. Begitu kami mendarat, para staf medis segera menghampiri dan membawanya ke klinik. Aku mengikuti dari belakang, sementara kerumunan masih terdiam, terkejut melihat apa yang baru saja terjadi.

Di klinik, tangan kiri Draco yang patah akibat hantaman Bludger langsung diperban dan dipasang gips. Tak lama, Profesor Dumbledore dan Lucius Malfoy, ayah kami, masuk ke klinik. Wajah Lucius tampak khawatir.

“Bagaimana keadaan kalian? Draco, tanganmu baik-baik saja?” tanya Lucius.

“Aku baik-baik saja, Pa. Tapi... bagaimana dengan Alois? Orang-orang pasti akan membicarakan hal ini,” jawab Draco.

“Pa, apa aku harus pindah ke Camp Half-Blood? Aku tidak mau!” seruku, penuh ketakutan.

“Tenang saja, kalian berdua,” kata Lucius, menenangkan. “Papa akan memastikan tidak ada yang berani mengganggu kalian.”

“Bagaimana kalau kita Obliviate mereka?” usul Draco.

“Sayangnya, itu sulit dilakukan. Terlalu banyak orang yang melihat Alois terbang. Tapi jangan khawatir, Papa akan mengambil tindakan jika ada yang berani macam-macam. Draco, pastikan kamu menjaga adikmu,” pesan Lucius tegas.

“Baik, Pa,” jawab Draco.

Setelah memberi pesan, Lucius pergi karena harus kembali ke Kementerian Sihir. Sementara itu, Profesor Dumbledore memegang pundakku dan berkata dengan lembut, “Kami akan membuat mereka percaya bahwa kamu anak spesial, Alois. Aku tidak akan membocorkan identitas aslimu. Tapi ingat, jaga dirimu baik-baik, hindari Hutan Terlarang, dan jangan terlalu sering menggunakan kekuatanmu. Semoga Langit memberkahimu.”

Setelah berkata demikian, ia pergi meninggalkan kami. Aku menghela napas panjang.

“Andai saja aku bisa berbicara langsung dengan Zeus,” gumamku, kesal, sambil menendang kaki ranjang Draco. Tendanganku membuat tubuhnya terguncang.

“Hei! Jangan tambah parah lukaku!” seru Draco sambil menyentil jidatku.

Aku meringis sambil mengusap jidatku. “Mau kembali ke asrama?” tanyanya.

Aku mengangguk.

Draco bangkit perlahan dan berjalan mendahuluiku. Aku mengikutinya dari belakang. Meski kami berusaha terlihat biasa saja, percuma saja menyembunyikan keberadaanku; tinggi kami hampir sama.

“Apa aku akan di-bully?” tanyaku, cemas.

“Tidak mungkin. Kalau ada yang mencoba, biar aku yang membully mereka duluan,” jawab Draco santai.

Kami kembali ke asrama, tetapi sepanjang perjalanan, aku bisa merasakan tatapan anak-anak lain yang penasaran. Mereka mulai berbisik-bisik, membicarakan apa yang baru saja terjadi.

“Arrggghh, aku benci jadi pusat perhatian,” gumamku.

Begitu sampai di ruang rekreasi asrama Slytherin, kami langsung dihujani pertanyaan dari teman-teman.

“Kenapa kau bisa terbang tanpa sapu terbang?” tanya Pansy, penuh rasa ingin tahu.

Draco menjawab santai, “Dia ini anak spesial.”

“Aku bertanya pada adikmu, bukan kamu!” seru Pansy.

Penjelasan Alois yang Membuat Semua Percaya

“B-benar, seperti yang Draco bilang... a-aku memang anak spesial. Oh iya! Apa kalian ingat saat Sorting Hat? Topi itu pernah berkata kalau aku anak spesial, kan? Itu terjadi ketika aku hampir dimasukkan ke asrama Ravenclaw,” ucapku dengan nada sedikit keras.

Flashback

Saat itu adalah salah satu momen paling menegangkan dalam hidupku. Hari di mana aku akan ditentukan masuk ke asrama mana. Aku sangat berharap agar bisa masuk ke Slytherin dan berada satu asrama dengan Draco.

“Alois Malfoy,” panggil Profesor McGonagall.

Ruangan langsung dipenuhi bisikan. Semua orang tampak terkejut karena mereka mengira Draco adalah anak tunggal. Tapi ternyata, ia memiliki seorang adik dengan penampilan yang sangat berbeda. Rambutku hitam legam dan mataku juga berwarna pekat, sangat kontras dengan ciri khas keluarga Malfoy yang berambut pirang. Aura yang kupancarkan pun terasa berbeda—bukan aura penyihir biasa, melainkan sesuatu yang lebih... unik.

Aku melangkah menuju kursi dan duduk. Profesor McGonagall memasangkan Sorting Hat ke kepalaku, dan suara topi itu segera terdengar.

“Hmmm... aneh sekali. Kau tidak memiliki aura penyihir, tetapi auramu sangat kuat. Kau anak spesial... langit telah memberkatimu. Jiwamu seperti udara, bebas dan cerdas. Kau kreatif, cocok sekali untuk Ravenclaw. Tapi tunggu...” Sorting Hat berhenti sejenak. “Kau juga memiliki ambisi yang besar, cerdik, dan sedikit pembangkang...”

Aku langsung berkata dalam hati, Slytherin... masukkan aku ke Slytherin!

Setelah beberapa detik, suara lantang Sorting Hat memecah keheningan.

“Slytherin!”

Sorak sorai terdengar dari meja Slytherin. Anak-anak Slytherin bertepuk tangan dengan semangat, menyambutku. Aku segera berjalan ke arah meja mereka dengan senyum penuh lega.

Flashback End

“Bagaimana? Kalian ingat? Topi itu pernah bilang kalau aku diberkati oleh langit, kan? Dan itu yang membuat aku bisa terbang tanpa sapu terbang,” jelasku dengan penuh keyakinan.

Mereka akhirnya mengangguk paham dan berhenti menginterogasiku. Malam pun tiba, dan masing-masing anak Slytherin kembali ke kamar mereka, termasuk aku dan Draco.

“Syukurlah mereka percaya,” ucapku sambil menghela napas lega.

“Eh, ternyata kamu pintar juga, ya,” ucap Draco sambil terkekeh.

“Siapa dulu? Alois Malfoy, dong,” balasku dengan senyum percaya diri.

Langit malam semakin larut, dan aku akhirnya tertidur pulas setelah hari yang penuh kejadian ini.



****

Hai gaissss maaf nih jarang up, soalnya daku lagi pkl jadi rada sibuk hehehe, tapiii jangan lupa buat vote and baca terus ya gais... Thankyou :*

Son of Zeus : Alois MalfoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang