BAB 38

2.8K 163 11
                                    

Daniel berdiri kaku menatap kepergian Kayana yang menghambur menuju pintu kamar. Ada tusukan nyeri yang bersarang tepat di denyut jantungnya, ia tidak dapat menarik ucapan yang telah keluar. Karena hal itulah, dirinya hanya mampu berdiri dan berusaha untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

Ketika Daniel berbalik untuk menatap Junho, lima jari yang terkepal sekeras batu menghantam wajahnya. Membuat Daniel terhuyung dan merasakan nyeri yang berdenyut di sekitar pipi—mungkin saat ini wajahnya telah berubah memar.

"Brengsek! Aku rasa ini cukup untuk membalas perbuatanmu padaku, tapi meskipun aku menghajarmu hingga sekarat hal itu tidak akan pernah cukup untuk menyembuhkan hati Kayana yang terluka!" Junho meraih kerah baju Daniel dan mengangkatnya untuk berdiri, lantas ia berdesis seraya menatap tajam pada mata Daniel yang menunjukkan tatapan nyalang penuh amarah.

"Bajingan! Aku telah mempercayaimu sebagai sahabatku, tapi bagaimana mungkin kau bisa menyembunyikan keberadaan Kayana dariku, supaya kau bisa bebas tinggal satu atap dengannya?" Daniel membalas menarik baju yang Junho kenakan.

"Sialan kau, Daniel, jika yang ada dalam isi kepalamu seperti itu. Aku sebagai sahabatmu juga akan merasakan sakit seperti yang Istrimu tengah rasakan. Aku bersumpah tidak pernah berniat untuk menjauhkanmu darinya!" Suara Junho terdengar murka. "Apakah masuk akal semua ini? Untuk apa aku memberitahumu kalau Kayana masih berada di Singapore jika aku menginginkannya?" Ia menggelengkan kepala dengan wajah yang menunjukkan kekecewaan.

"Seharusnya kau bertanya lebih dulu sebelum mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan," Junho menambahkan dengan suara pelan, Daniel merasa pegangan pria itu di kerah bajunya telah mengendur. Junho memutar tubuh, tangannya meraih jaket yang tersampir di atas Sofa, "Selesaikan urusan kalian dan minta maaflah padanya!" Lalu ia menarik gagang pintu lantas keluar tanpa menoleh pada Daniel yang masih berdiri kaku. Daniel tidak tahu harus berbuat apa saat rasa bersalah menghinggapi seluruh organ vitalnya.

Kenyataannya di sini ia mulai menyadari satu hal, semua yang terlihat tidaklah seperti kenyataan yang ia bayangkan. Kesalah pahaman fatal telah terjadi, dan hal tersebut telah melukai hati Kayana dan Junho secara fisik. Daniel tidak tahu harus berbuat apa ketika ia menatap pintu kamar yang tertutup dengan keberadaan Kayana di dalamnya.

Demi Tuhan, ia bersikap seperti itu karena merasa sangat kecewa dan sakit hati. Sekalipun itu hanya kesalah pahaman, tapi hatinya memang sempat berdarah-darah. Daniel bukannya ingin mencari pembenaraan untuk dirinya sendiri, tapi ia memang terluka saat mengetahui Junho dan Kayana pulang ke tempat yang sama.

Ingin rasanya ia memohon maaf, namun niat tersebut diurungkan saat ia membuka pintu dan mendapati tubuh Kayana yang bergetar. Tampak jelas wanitanya tengah menangis dan berusaha meredam semua rintihan agar tidak dapat di dengar oleh siapapun. Dengan hati yang sama terluka, Daniel memilih untuk bersandar pada tembok, niatnya untuk masuk dan meminta maaf telah pupus seiring dengan rasa penyesalan yang kian bertambah. Ia telah melukai perasaan Istrinya, bahkan rasa cemburu telah mengalahkan akal sehat untuk mempercayai Kayana dan tidak gegabah dalam mengambil tindakan.

Suasana yang penuh kesedihan kian terasa tatkala sang langit mencurahkan air hujan yang tidak sanggup lagi dibawa awan. Mengalir deras dan menyebabkan suara gemericik yang terasa mengolok kepedihannya, Daniel menutup jendela di dekat ruang tengah. Ia merasa lelah dengan semua pemikiran yang menyakitkan, dipisahkan dari Kayana begitu saja—itu sama halnya seseorang telah mengiris urat nadinya secara perlahan—ia kehilangan akal sehat kala mengetahui dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Junho selama ini mengetahui dengan pasti di mana Kayana berada, namun pria itu tidak pernah sekalipun memberitahunya.

Tanpa terasa jam yang menempel di dinding telah menunjukkan pukul sembilan malam. Daniel terlonjak dan bergegas menuju kamar. Sudah berjam-jam Kayana tidak keluar kamar. Hal tersebut membuat pikirannya semakin tidak menentu, merasa takut jika terjadi sesuatu pada Istrinya.

Daniel masuk ke dalam kamar sepelan yang ia bisa, tidak ingin menimbulkan suara dan membuat Kayana terhenyak. Rasa khawatir yang dirasakannya kian bertambah saat Daniel mendekat, ia mendapati tubuh Istrinya masih bergetar dan berpeluh keringat di mana-mana.

"Astaga, Kayana. Apa kau baik-baik saja?" Daniel duduk di tepi ranjang, lantas ia meraih tubuh Kayana saat tidak mendapatkan respon sedikitpun. "Badanmu panas sekali," Daniel memutar tubuh Istrinya agar berbaring  dengan benar, lalu ia bergegas menuju dapur untuk menyiapkan air dan lap untuk mengompres.

Daniel merawat Kayana dengan telaten, menjaga wanitanya dan memastikan gadis itu dalam keadaan yang lebih nyaman. Setelah melihat nafas Kayana yang mulai teratur, Daniel beranjak menuju dapur untuk mempersiapkan bubur.

Marriage Failed The First NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang