BAB 22

3.4K 181 5
                                    

Daniel berjalan menuju tempat yang telah disewa olehnya untuk nanti malam. Beberapa petugas Hotel tengah berbenah mempersiapkan segala sesuatu yang telah ia minta. Sofa berwarna cream cerah telah berada di sana lengkap bersama meja kaca polos sebagai pelengkap. Beberapa lampion sudah tergantung di beberapa sudut untuk memberi penerangan, dapat dipastikan nanti malam tempat terbuka itu akan berubah menjadi lokasi makan malam romantis.

"Daniel, kau sedang apa di sana?! Kenapa sendirian? Kayana di mana?" Terdengar teriakan pria yang beberapa hari ini mulai Daniel kenal dengan baik, ia memilih menulikan telinga daripada harus berbalik untuk menjawab pertanyaan mereka. Suara derap langkah kaki yang mendekat terdengar semakin jelas.

Pasti dua pengganggu itu lagi. Gumam Daniel dalam hati, detik berikutnya seseorang merangkul pundaknya dengan santai.

"Ya! Bodoh! Sudah kubilang jangan menempel padaku terus. Setiap bertemu pasti tanganmu yang tidak tahu diri itu merangkulku tanpa persetujuan," Daniel menunjukkan wajah marah. Tapi pria yang membuatnya kesal hanya mengedikkan bahu sambil menunjukkan senyum tanpa merasa bersalah.

"Sudahlah jangan gengsi, hanya merangkul tidak akan membuatmu hamil," gumam Weslie santai, pria itu mengedarkan pandangan ke sekitar.

"Sial! Kau benar-benar membuatku marah!" Daniel memutar bola mata dengan sepenuh hati, ia benci karena semua acara bulan madunya terganggu.

"Daniel, apa kau berencana untuk menyiapkan acara makan malam?" Junho bertanya seraya duduk nyaman di tengah sofa. Pria itu mengenakan celana Jeans dan kaos Giordano warna putih.

"Hey jangan duduk di situ! Aku tidak ingin tempat makan malamku disentuh oleh kalian berdua!" Pekik Daniel dengan wajah garang.

"Aku ingin istirahat sebentar, kakiku pegal sekali," Junho beralasan agar diijinkan untuk tetap duduk nyaman di tempat semula. Namun Daniel tidak mau tahu, karena ia sudah menarik lengan pria itu dengan kasar.

"Bangun dan jangan mencoba untuk duduk lagi!" Dengan terpaksa akhirnya Junho menurut.

"Dan kau Weslie, kalau ingin mendapat maaf dariku tiup ini semua! Sebelum jam delapan aku ingin semuanya selesai dan dibentuk!" Daniel memberikan kotak segi empat kepada Weslie, membuat pria itu merasa senang karena Daniel memberinya kesempatan.

"Kalau boleh tahu ini apa? Jadi aku harus menyelesaikannya sebelum jam delapan ya?" Weslie bertanya untuk memastikan.

"Ya! Dan jika nanti malam masih ada yang tersisa, maka maaf dariku belum bisa kau dapatkan," Daniel menunjukkan senyum misterius. Selanjutnya ia berbisik pada beberapa pihak Hotel untuk mengawasi dua pria tersebut; memastikan agar lelaki yang mengenakan kemeja warna abu-abu itu melakukan perintahnya dengan benar.

"Aku pergi dulu karena masih ada urusan," Daniel melihat jam yang melingkar di tangan kirinya, "Sana, buka saja dan lihat isi kotaknya apa, aku ingin kalian memanfaatkan kesempatan dariku dengan benar," ia bersiap untuk pergi, "Awas ya! Jangan sampai ada yang pecah," Daniel berlalu seraya mengumbar senyum. Saat langkahnya mulai menjauh samar ia mendengar makian Junho yang kesal setelah melihat isi kotak yang diberikannya.

"Ka, kau menyusahkanku, aku pergi saja. Aku tidak mau jika harus membantumu, ini bisa membuat mulutku sakit," celoteh Junho yang lebih terdengar seperti umpatan. Daniel hanya terkikik tanpa mau bersusah payah untuk melihat hal apa saja yang tengah dua pria itu lakukan, dan terus melangkah menuju tempat tujuan selanjutnya.

"Rasakan! Awas saja jika mereka tidak meniupnya," Daniel bergumam sendiri membayangkan kedua pipi pria itu akan bengkak.

***

Daniel bersiul dengan wajah berbinar, ia merilik sekilas jam tangan Guess Limited Edition yang terpasang di tangan kirinya. Jarum pendeknya sudah mendekati angka delapan, terhitung sudah dua jam lewat sudah semenjak ia pergi dari lokasi yang akan digunakan untuk makan malam. Ia terus melangkah, saat ini ia sudah mengenakan setelan formal Tuxedo warna hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu yang bertengger masih di bagian leher, tangannya membawa sebuket bunga tulip merah yang memukau.

"Bagaimana? Apa sudah selesai?" Daniel bertanya pada staf Hotel yang baru menyadari kehadirannya. "Masih ada sekitar dua puluh lima balon lagi yang belum ditiup," jawab pegawai itu ramah. Selanjutnya Daniel mengangguk; lantas menarik langkah maju mendekati sofa.

Daniel memperhatikan dua pria dewasa tengah meniup balon dengan wajah yang sudah sangat berantakan. Saat Weslie menyadari kehadirannya pria itu langsung berdiri, melupakan balonnya yang sudah membesar hingga melayang dan mengeluarkan suara saat udara di dalamnya hilang.

"Ya! Daniel, kau kejam sekali, bagaimana mungkin aku harus meniup balon seratus buah dalam dua jam? Pipiku sudah sakit. Aku bersumpah rasanya tidak nyaman," Weslie terus memijat kedua pipinya dengan telapak tangan.

"Aku masih berbaik hati hanya menyuruhmu untuk meniup balon, jika dibandingkan dengan kesalahanmu yang telah menjual Kayana ini tidak berarti apapun!" Daniel menunjukkan wajah kesal, lalu ia melirik Junho yang tengah menatapnya dengan pandangan sayu, raut wajah pria itu sudah sulit untuk dijabarkan seperti apa.

"Aku Lelah, Ka. Kau lanjutkan saja semuanya. Pipiku sudah mati rasa, aku tidak sanggup lagi," tanpa menunggu persetujuan Weslie, Junho berlalu dengan tubuh bergidik. Ia tidak tahan jika harus membantu untuk menyelesaikan dua puluh lima balon yang belum mengembang.

"Hey! Junho, cepat kembali! Bantu aku menyelesaikannya!" Weslie terus berteriak, dan hal itu menyebabkan pipinya semakin terasa tidak nyaman.

"Hmm, masih banyak balon yang tersisa, waktunya hanya tingga dua puluh menit lagi sampai jam delapan, sudah... tidak usah dilanjutkan, aku sudah punya cukup balon untuk dijadikan hiasan," gumam Daniel dengan wajah cerah. Hal itu membuat Weslie menarik nafas lega. Setidaknya ia terlepas dari penderitaan kecil namun sangat menyiksa tersebut.

"Apakah itu tandanya kau sudah memaafkanku?" Weslie bertanya dengan wajah berseri, senyum lebarnya memamerkan deretan giginya yang rapi.

"Tidak! Aku masih belum memaafkanmu! Cepat ikuti Pelayan itu karena masih ada tugas lain dariku," Daniel menunjuk seorang Pelayan yang sudah menunggu tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Apa?! Masih ada tugas?!" Weslie hampir menjatuhnya tubuhnya ke atas pasir, ia tidak tahu cobaan apa lagi yang akan Daniel berikan padanya.

"Cepat pergi sebelum aku berubah pikiran untuk tidak memaafkanmu!" Daniel berkata tegas, berlainan dengan batinnya yang menyeringai. Jika dapat dilihat hati kecilnya melompat gembira karena sudah berhasil melakukan misi pertama. Dengan langkah malas Weslie akhirnya menyerah, ia menyeret langkah untuk mengikuti Pelayan Hotel yang sudah siap seia untuk memberitahu hal apa saja yang harus dilakukan olehnya.

Setelah Weslie menghilang di balik pintu belakang hotel, Daniel memanggil beberapa staf Hotel yang tadi sudah ia minta untuk membantunya, terlihat dua orang petugas membawa karpet merah untuk menutupi pasir yang akan dilewati. Lokasi makan malam romantis kali ini di tempat terbuka, di atas pasir langsung, dengan deburan ombak yang terdengar jelas. Sofa serta meja telah berada di tempat yang seharusnya.

Balon-balon yang sudah mengembang berisi udara dari mulut Weslie dan Junho tengah di tata sedemikian rupa oleh pegawai Hotel dan mereka melakukannya sesuai permintaan Daniel. "Kayana, tunggu aku," gumam Daniel mantap, selanjutnya ia melangkahkan kaki memasuki Hotel untuk menjemput Istri tercintanya.

🌺🌺🌺

Marriage Failed The First NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang