'MCY ; 10'

389 55 1
                                    

Pusing, berkeringat dingin, jantung yang berdegub lebih kencang dari biasanya. Itu semua aku rasakan secara bersamaan sekarang. Nanti malam akan ada acara makan bersama diruma bersama keluarga Adrian. Katanya, sekalian pertunangan kami.

Gila!

Aku benar-benar belum siap. Entah mengapa, saat menceritakan semua ke pada Stephanie. Aku kembali merasakan gugup. Ditambah ekspresi Setep yang tidak bisa dikontrol itu, membuat aku semakin ingin jungkir balik aja dah seharian.

"Langsung tunangan biar ga keburu diambil orang. Itu salah satu cara buat tunjukin kalau ini ga main-main. Saya ga berniat cuma coba-coba aja sama kamu."

''Kira-kira gitu Tep jawaban dia waktu gue tanya, napa langsung tunangan sih." Kembali terbayang pertemuanku dan Adrian tadi pagi sebelum berangkat ke kafe. Hari ini niatnya aku absen dulu. Karena, yah sudah jelas apa alasannya.

"Wah gilasih! Itu cowok gercep juga. Gas pol cuy, salut gue." Stephani malah bertepuk tangan ria dengan menunjukan wajah kagumnya.

"Kok salut sih! Gue deg-degan bego! Belum siap nih gue."

"Ya bagus dong, lu ga peka apa emang oon sih?! Udah jelas dia bilang kalau mau serius. Kalo kalian langsung tunangan, berarti ada ikatan lebih serius diantara kalian daripada sekedar pacaran! Lu bersyukur dong dia niat ga main-main. Gue aja yang pacaran 3 tahun kaga tunangan sampai sekarang. Lu pikir ga nyesek?! Lu tuh beruntung dapet cowok dewasa macem dia."

"Lu kok malah banggain dia sih! Terus gue kudu gimana dong?! Gue ga siap anjir. Kaga tau juga entar malam mau gimana."

"Udah ga usah banyak bacot. Lu sekarang pulang siapin diri, ada Salsa juga kan yang bakal bantuin lo. Nanti gue yang bilang ke yang lain napa lu ga masuk. Kafe biar kami yang ngehandle. Lagian lu mau tunangan ngapa masih kesini sih?!"

"Masa gue pulang sekarang. Ga enak sama yang lain." Sebenernya aku males pulang karena pasti lebih deg-degan kalau ada di rumah. Apa lagi liat wajah antusias mama dan Salsa. Aduh, bayanginnya aja udah ribet.

"Udah hush, sana pulang lu. Dandan yang cantik. Jangan malu-maluin!"

Jam sudah menunjukan pukul tujuh lewat sepuluh malam. Keluargaku sudah siap menjamu tamu dari empat puluh menit yang lalu. Bang Arsen malam ini kelihatan banget aura kebapakannya. Ditambah ekpresi dingin yang dari tadi enggak hilang dari wajah tampannya. Entah kenapa, tapi dilihat-lihat serem juga mukanya.

Salsa terlihat cantik dan lebih dewasa dengan mengenakan dress lengan panjang selutut. Berwarna hitam polos, yang membuat dia semakin terlihat langsing dan elegan. Mama juga memakain setelan rapi. Kemeja semi formal bercorak bunga-bunga dipadu dengan celana hitam polos. Mama terlihat lebih muda dan fresh.

Sedangkan aku duduk gugup di kursi makan, sesekali melihat sekitar. Keringat dingin tidak berhenti bercucuran. Tadi Salsa sempat memoles wajahku dengan sedikit make-up. Dia juga yang memilihkanku dress selutut berwarna rose gold. Dengan rambut diurai hasil catokan.

Lima belas menit kemudian. Terdengar suara mobil dari depan rumah. Sudah dapat dipastikan, itu mobil keluarga tante Nadine.

Entah apa saja yang dibicarakan mereka. Sepanjang pertemuan ini aku hanya melamun, dan sesekali terkesiap saat Salsa menginjak kakiku di bawah meja makan. Setelah makan malam suasana terasa lebih serius. Ah, aku benci situasi begini.

"Ya udah langsung saja ya pasangan cincin." Aku spontan menengok ke arah tante Nadine. Aku dari tadi melamun saja memandang wajah tampan om Wijaya yang sedang berbicara panjang lebar.

"Ayo Adrian pasangin cincinnya." Tante Nadine menyenggol lengan Adrian dengan tidak sabaran. Mama hanya senyum-senyum saja. Tidak lupa mendorongku untuk sedikit mendekat ke Adrian.

Samar-samar aku medengar Adrian mengatakan "permisi" sambil menunduk dan mengamit tangan kiriku. Untuk dipasangkan cincin silver dengan tiga permata kecil yang menghiasi.

Semua berjalan begitu saja. Dengan aku yang lebih banyak diam dan senantiasa melamun. Aku mencium tangan Om Wijaya saat beliau perpamitan pulang. Begitu juga dengan tante Nadine, namun ditambah sebuah pelukan hangat. Sedangkan kepada adik Adrian kami hanya saling melempar senyum hangat. Kalau tidak salah dengar, nama dia Edgar.

"Adrian, saya mau ngomong sebentar." Tiba-tiba bang Arsen mengajak Adrian agak menjauh dari kami. Aduh, aku jadi makin tidak tenang. Apa yang mau disampaikan sama bang Arsen, sampai harus bicara berdua saja? Dilihat dari ekpresi bang Arsen yang dingin dan selalu mengamati Adrian dari awal mereka datang ke rumah ini. Sepertinya bang Arsen mau bicara serius.

Sudah empat jam berlalu setalah perjamuan. Aku masih setia terjaga sambil mendengarkan lagu rosyln. Kalau kalian pecinta film Twiligh saga pasti tahu lagu memabukan itu.

Setelah kepulangan keluarga Adrian, kami semua memutuskan untuk beristirahat. Karena merasa lelah. Bagaimana tidak, semua hidangan yang kami suguhkan itu hasil dari jerih payah aku, mama dan Salsa. Apa lagi mama, terlihat sangat capek namun masih sumringah saja hingga akhir acara.

Adrian mengirimiku pesan setalah kurang lebih tiga hari kita tidak saling berkabar. Dia memang tak jarang mengirimiku pesan singkat semenjak mengatarkanku pulang malam itu. Aku juga sempat bilang kepadanya untuk tidak menggunakan kata ganti "saya" karena itu terasa canggung banget.  Dan sepertinya dia setuju saja dengan hal itu.

Saat sedang bersenandung ria sambil membayangkan apa saja yang akan aku ceritakan kepada Stephanie. Sudah pasti pagi-pagi dia akan menerorku untuk bercerita semua kronologi acara secara rinci. Terdengar suara ting dari handphone ku sebanyak dua kali. Itu menandakan ada dua notifikasi barui dari whatsapp.

Ternyata malam ini diakhir dengan pesan singat dari Adrian. Pesan itu bertuliskan.

Tidur, udah malam
Good night sleep tight karin❣

TBC
Thx buat yg udh baca.
Jgn lupa vote n comment ya para Wattijen:)
C u!

moccacinyouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang