Satu minggu berlalu setelah kepergianku ke Bali. Hari ini aku berangkat kerja bareng Stephani, kebetulan Mama juga pengin nengok Carnation katanya, karrna sudah lama nggak mampir, baguslah Mama nggak perlu panas-panasan naik motor.
Semua berjalan seperti biasanya, kami yang sibuk mengurus cafe, Mama yang ikut membantu, pelanggan yang fokus dengan kesibukan masing-masing. Tidak ada yang aneh sampai aku menyadari wajah murung Kak Alvian saat sendiri. Sudah berapa lama semenjak aku menanyakan kabar Kak Alvian? Sepertinya memang ada yang benar-benar tidak beres. Apa ini bersangkutan dengan pacarnya yang kemungkinan selingkuh seperti perkataan Stephani kala itu?
Saat pulang Mama mengajak Stephani untuk menginap di rumah saja, hal itu disambut dengan angguan senang lleh Stephani. Diperjalanan Mama tiba-tiba membahas Kak Vian. Entahlah, feeling Mama tuh terlalu peka dengan keaadan.
"Omong-omong, Alvian lama nggak main ke rumah ya. Chat sama Mama juga jarang sekarang. Gimana kabarnya?"
"Ya seperti yang Mama lihat, biasa aja, Mama kan ketemu tadi," jawabku dari kursi belakang.
"Tapi Mama ngerasa ada yang beda, kayak ada yang ditahan sama dia. Kalian yang ketemu setiap hari nggak ngerasa beda juga?" Mama bertanya lagi memastikan sambil menyerongkan tubuhnya melirik ke arahku dan Stephani bergantian.
Aku menangkap tatapan Stephani dari spion tengah mobil, kami berkedip sekali lalu Stephani menjawab, "Nggak apa kok, Ma, Kak Vian juga bilangnya baik-baik aja. Lagian kalau ada masalah mungkin dia masih ngerasa bisa handle sendiri, jadi nggak bilang ke kita. Gitu kali, Ma."
"Bisa jadi, tapi kan Mama kasihan, nggak tenang Mama."
Aku mengulurkan tanganku, mengelus sebentar lengan Mama. "Udah, Ma, kayak Mama ga ada pikiran aja, pikiran Mama itu udah banyak, bukannya aku nggak mau Mama peduli sama Kak Vian, aku juga kepikiran. Tapi Kak Vian udah dewasa, Ma, sama kayak kita kalau ngerasa nggak perlu orang lain tau dia nggak bakal cerita, kalau emang dia butuh juga pasti bakal bilang kok."
Setelahnya kami berusaha mengalihlan pembicaraan.Sesampainya kami di rumah Mama bergegas membersihkan diri dan pergi tidur, sedangkan aku dan Stephani masih menclok di sofa depan TV.
"Oit, Rin, lu dah siapin bahan buat soft cake nggak? Biar besok tinggal mix terus baking aja."
"Udah tadi waktu gue ke dapur bentar sekalian ambil cemilan, udah gue timbangin semua. Eh iya, kulit buat croissant juga udah siap di fleezer besok ingetin buat bawa, lu di cafe tinggal gulingin satu-satu terus olesin butter doang. Woiya, yang sebagian kasih isian coklat aja, soalnya beberapa hari ini yang coklat sering sold duluan banyak yang minat" jelasku panjang lebar sambil menyomot Citato yang dikekepin Stephani.
"Lah lah udah lu potongin juga? Anjir rajin bet dah sohib gua, sini peluk dulu!"
"Iyuuh najees sono lu jauh-jauh!"
Namun emang dasarnya Stephani gila, dia tetap bersikukuh mengulurkan tangannya untuk memelukku dengan bibir yang dimonying-monyongin. Ya allah punya sohib satu kenapa gilanya mendarah daging gini sih.
"Iih sini nggak! Gue lagi kangen Faisal tau?!"
"Terus hubungannya sama ane apaan anjim! Lu mau jadiin gue pelampiasan lo peluk-peluk gara-gara lo ldr dan nggak bisa peluk Faisal gitu?"
Stephani menganggukan kepala dengan wajah tanpa dosa. "Tuh lu tau, Rin, sini makannyaaaa."
"Ya Allah akhlak lo kemana, Tep, astaga!"
Perdebatan nggak penting kami terhenti karena ponselku bergetar di saku celana piayamaku. Aku menempelkan telujuk ke bibir memberi kode Stephani untuk diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
moccacinyou
Novela JuvenilKatanya, semua manusia diciptakan berpasang-pasangan. Katanya, jodoh itu ga akan tertukar. Dan katanya lagi, jodoh akan datang dengan sendirinya. Tapi, apa aku harus percaya kalau pasanganku itu, akan datang secepat ini? Semuanya terjadi begitu saja...