' MCY ; 19'

319 41 1
                                    

Pukul sembilan kurang 20 menit, aku sudah siap dengan kemeja dan celana bahanku untuk berangkat ke kafe. Bergegas ke dapur untuk sarapan sebentar selagi motor scoopy hitamku masih aku panasin. Sabil mengunyah roti tawar aku mengecek foto-foto berbagai rangkaian bunga yang Faisal kirimkan kemarin malam.

Satu fakta tentang Faisal, dia cowok ribet. Mau ngasih bucket bunga aja pilihannya bejibun. Tinggal kasih aja kan selesai sih ngapain pakai sok-sokan bingung rangkain bunga mana yang cantik. Ish, nambah beban hidup saja cowok satu ini.

"Tumben banget Rin jam segini kamu udah siap?" Aku mendongak dan menemukan mama sedang menarik kursi di hadapanku. "Iya ma, mau interview dulu." Ya, pagi ini aku sudah membuat jadwal temu dengan tiga orang yang berkenan untuk menjadi barista di Carnation.

Kemarin Stephani yang mewawancarai, ada empat orang yang melamar dan satu pun tidak ada yang pas menurut dia. Jadi hari ini giliranku,  semoga salah satu dari mereka ada yang pas untuk direkrut. Karena aku sendiri males juga sih wawancara-wawancaraan gini.

Mama mengangguk-anggukkan kepala, "oh yang kamu buka lowongan kerja jadi barista itu ya?". Sekarang gantian, aku yang menganggukan kepala. "Kamu serius Rin mau nambah jam buka kafe?"

"Iya ma, karena banyak juga yang kasih saran untuk buka lebih pagi. Apalagi kan dekat kampus Ma, mahasiswa sana bilang kalau kelas siang mereka suka nunggu sambil nongkrong gitu di kafe, jadi pada saranin buat kita buka lebih awal. Kafe juga makin hari makin rame Ma. Jadi ya, apa salahnya nerima saran mereka."

"Alhamdulillah sih kalau gitu. Tapi kamu jangan capek-capek Karin, kamu tuh sibuk terus tiap hari. Pulangnya malam sekarang pagi juga kamu bakal jarang di rumah. Mama kan jadi kangen, sepi ga ada temen." Aku memandang mama yang berlagak sedih. Aduh aku emang belakangan ini kurang banget sih waktu buat Mama. Padahal kita cuma tinggal berdua. "Maaf ya Ma, entar Karin senggangin jadwal deh biar lebih lama dirumah," kataku sambil menghampiri mama dan memeluknya erat.

Pelukan mama adalah pelukan ternyaman di dunia ini. No debat.

Mama melepaskan pelukan kami, " udah berangkat sana, ntar telat loh kasian yang mau intetview." Aku sok-sokan ngambek mengerucutkan bibirku, " mama kok ngusir sih?!". Mama terkekeh saja melihat tingkah absurdku.

"Ya udah Aku berangkat dulu ya ma. Mama ati-ati di rumah, jangan kekuyuran."

Plak

Mama menabok bahuku, "kamu tuh yang jangan keluyuran, kerja yang bener ya. Inget, udah punya Adrian jangan kelayapan."

"Ih apaan sih Ma, semenjak kapan Aku suka kelayapan ga jelas." Lagi-lagi Mama menabok lenganku. "Oh iya sih, kamu kan jomblo akut dulu ga pernah deket sama cowok." Mama pun terbahak puas melihat ekspresi kesalku. Dasar Mama, dari dulu hobi banget sih nyinggung statusku sebagai jomblo. Untung sekarang udah ada gandengan, ya walaupun sering merasa sendiri sih sangking cueknya Adrian, jadi keliatan tetap jomblo.

Cuma cincin di tangan kiriku aja yang membuatku mengingat iya sih udah punya tunangan udah ga jomblo lagi. Wkwkwk

***

Ingatkan aku bahwa malam ini adalah malam minggu. Kafe ramai banget sampai kami sedikit kewalahan dengan orderan yang datang tanpa henti. Tadi saja baru pukul 8 malam, cake dietalase sudah ludes tak tersisa. Dan sekarang sudah menuju pukul 10 malam namun pengunjung masih saja berdatangan.

Dahi Kak Alvian sudah banjir keringat, bahkan untuk menoleh saja sepertinya dia tidak sempat. Fokus untuk meracik kopi pesanan pelanggan. Amanda sudah tak terhitung berapa kali mondar-mandir untuk mengantar pesanan. Begitu juga dengan Aku dan Stephani yang sibuk bergantian di kasir dan kitchen. Aku harus banyak-banyak bersyukur sih. Akhir-akhir ini rezekiku dari penghasilan kafe cukup banyak.

moccacinyouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang