"Sal, anak lo nangis tuh!" Aku berteriak dengan suara serak, bermaksud memberitahu Salsa bahwa anaknya lagi nangis sampai menjerit-jerit di kamar seberang. Ya, kamar kami berhadap-hadapan. Jadi kalo terlalu berisik suka kedengeran sampai kamar lain. Maklumlah rumah kami emang kecil.
Ngomong-ngomong soal suaraku yang serak. Ini semua berkat Salsa sialan itu.
"Nonton itu aja rin, apa sih judulnya kok jadi lupa gue."
"Lu mah emang pikun."
"Sembarangan!"
"Ya udah apa judulnya, gue lagi gabut nih. Ribet amat sih."
"Kan lagi berusaha nginget judulnya, sabar dong!"
"Ga usah bacot, malah ga keinget judulnya. Diem dulu inget baik-baik!"
"Oh itu ya ya ya inget gue. Wah gue emang cerdas."
"Apaan Sal, buruan elah."
"Judulnya "The Prisoners" bagus tuh nangis bombay lu pasti."
Saat ini aku sedang menyeka air mataku yang sudah mengalir ke pipi dari beberapa menit yang lalu. Terserah mau di bilang lebay kek cengeng kek, ga peduli. Film ini sukses bikin aku tersentuh walaupun aku ga pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Tapi ayahnya di film itu baik banget, jadi ga tega kan kalo nasibnya ngenes gitu.
"Heh, keluar kamu! Ada tamu noh."
"Apaan sih bang, main nyelonong aja!"
"Eh lu abis nangis rin? Napa lagi, cengeng banget jadi cewek."
"Kalo lu cuma mau julidin gue mending keluar dah bang. Gue gibeng juga lu lama-lama."
"Oh gitu, udah mulai berani ceritanya?" Bang Arsen tiba-tiba mengahampiri aku dengan tangan seoalah- olah siap meninju. Aku yang sedang duduk selonjoran di ranjang sambil memangku laptop, cuma bisa melongo.
"Aduh, engga ga udah sana keluar. Katanya ada tamu?"
"Ya udah sono bikinin minum. Salsa lagi sibuk ngurusin anaknya."
"Lah itu anak lu juga Abang gantenggg."
"Siapa yang bilang itu bukan anak gue?"
"Ya udah iya deh, ngalah lagi nih gue." Kenapa sih ga perna bisa menang adu bacot kalau sama cowo yang satu ini.
Aku meletakan laptop di kasur, tanpa mematikannya terlebih dahulu. Karena aku berniat nonton film lahi setelah menyajikan minuman untuk tamu itu. Eh, ngomong-ngomong tamunya siapa sih? Ganggu waktu istirahat siang aja.
"Emang tamunya siapa bang?" Aku bertanya pada Bang Arsen yang sedang bersandar di kusen pintu. Sambil ngeliatin aku yang lagi jalan ke arahnya.
"Camer."
Setelah mengucapkan satu kata itu. Dia pergi dan masuk ke kamar Salsa, tanpa memberi penjeladan apapun kepadaku.
Camer? Calon Mertua? Maksudnya, Bang Arsen mau nikah lagi? Kan mertua dia cuma Mama. Wah, ga bisa dibiarin nih. Bakal aku interogasi setelah ini."Sini-sini duduk Karin." Mama menyambut kehadiranku yang sedang membawa nampan berisikan empat gelas sirup. Sebenernya aku ga tau sih tamunya ada berapa, jadi aku nebak saja. Dan ternyata tamunya cuma dua orang.
"Ini anak kedua kamu Nia? Wah udah gede ya makin cantik aja," ujar seorang wanita yang kisaran umurnya sepantaran dengan Mama sepertinya. Dia tersenyum lembut kepadaku. Cantik.
Lalu aku melirikan mata ke sebeleh kiri, menatap orang yang sedang duduk berhadap-hadapan denganku itu.
Gila! Beneran gila!
Ganteng banget. Nih, bapak siapa anjir? Udah tua sih tapi masih keliatan gantengnya.
Dan dia tersenyum kepadaku.
Ya Allah, jangan buat aku pingsan sekarang.
"Karin, ini temen Mama. Kami udah temenan dari jaman Mama masih jadi anak rantau di Kota."
Ucapan Mama disambut dengan tawa oleh ibu-ibu cantik itu. Disusul dengan Mama yang ikutan tertawa. Aku cuma bisa nyengir aja. Waktu ga sengaja tatap-tatapan dengan bapak ganteng di hadapanku. Ternyata dia lagi ngeliatin aku, dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Aduh, kenapa natapnya gitu amat pak? Makin ganteng Ya Tuhan.
"Saya Nadine. Temen Mama kamu, dan ini suami saya." Setelah memberi penjelasan tante Nadine tersenyum lembut sambil mengulurkan tangan. Aku menyambut uluran tangan itu sebagai tanda perkenalan. Tak bisa dipungkiri dia memang cantik banget.
Apa bener ya, kalau orang cantik jodohnya ganteng? Seperti halnya Tante Nadine dan suaminya. Juga Bang Arsen dan Salsa. Lah terus, apa kabar aku? Masa jodoh aku harus yang mukanya pas-pasan kayak aku gini?
"Karina tante." Ucapku selembut mungkin. Berusaha terkihat lugu, ya pencitraan dikit gitu.
Lalu aku juga berjabat tangan dengan om-om ganteng.
"Om Wijaya." Aduh, tanganya keker banget. Dedek ga tahan om.
"Karin umur berapa?" Aku terkesiap saat Tante Nadine bertanya padaku.
"Eh anu, Karin umur 23 tante." Jawabku sok kalem sambil senyum juga jangan lupa.
"Udah punya pacar belom?" Tante Nadine dan Mama kembali tertawa lagi. Aku cuma bisa nyengir aja. Kenapa sih, status jomblo aku harus selalu disinggung begini? Ngeselin.
"Karin mah jomblo Nad, Aku juga heran kapan dapet mantu baru coba kalo dia ngeles mulu tiap dideketin cowok."
"Aduh Mama, Karin ga gitu." Mama malah ngeledekin aku. Oke, sabar Karin badai pasti berlalu.
"Masih mending kamu udah punya satu menantu. Lah aku malah belum punya sama sekali."
"Lho anak kamu yang pertama umur berapa emang?" Wah, kelihatannya mama mulai kepo.
"Adrian udah umur 28 tahun padahal, tapi gitu susah banget dapet cewek. Terlalu cuek sih dianya."
"Cuek, nurun bapaknya kali." Setelah Mama menimpali, mereka bertiga tertawa tak terkecuali si om ganteng yang dari tadi cuma pasang muka datar.
Ngomong-ngomong, tadi nama anaknya Adrian ya? Dari namanya aja udah keliatan kalo cogan hahahha. Tapi kalau liat ibu dan bapaknya yang sempurna ini. Sudah tidak diragukan lagi kalau anaknya pasti ganteng.
Aku jadi ikutan penasaran, Adrian itu gimana ya orangnya?
TBC
Thx buat yg udh baca
Jgn lupa vote n comment ya para Wattijen:)
C u!
KAMU SEDANG MEMBACA
moccacinyou
TienerfictieKatanya, semua manusia diciptakan berpasang-pasangan. Katanya, jodoh itu ga akan tertukar. Dan katanya lagi, jodoh akan datang dengan sendirinya. Tapi, apa aku harus percaya kalau pasanganku itu, akan datang secepat ini? Semuanya terjadi begitu saja...