'MCY ; 12'

334 53 3
                                    

Malam ini bintang-bintang tidak banyak yang terlihat. Langit didominasi oleh awan yang tampaknya sudah siap untuk mengeluarkan semua bebannya. Layaknya manusia yang sudah sakit hati bertubi-tubi dan menahan tangis hingga akhirnya pecah juga. Begitu juga dengan awan malam ini, aku tebak sebentar lagi akan turuh hujan lebat.

Duduk berhadapan di sebuah warung tenda pinggir jalan. Aku menyeduh moccacino yang selalu menemani hari-hari ku. Aku membawa minuman itu dari kafe tadi. Cowok dihadapanku tampak lahap memakan sate ayam yang dia pesan beberapa menit yang lalu. Beberapa kali jalan sama dia, aku bisa menyimpulkan dua hal. Dia sangat suka makanan yang berbumbu kacang dan juga yang paling sering aku temukan di mobilnya adalah sebotol minuman ber ion dengan botol bening dan logo putih-biru. Tanpa aku sebutkan merknya kalian sudah pasti tahu kan.

Setelah lama dalam keheningan. Dan aku juga merasa sangat gabut bingung mau ngapain. Dari tadi aku hanya memandang Adrian makan lahap. Dan membaca ingredients di botol pocari sweat berkali-kali. Aku bukan orang yang mudab membuat topik pembicaraan. Tapi kalau kelamaan gini juga bosen anjir.

Adrian itu kalau ga diajak ngobrol duluan dia bakal diem aja. Maka dari itu aku yang sering mendominasi percakapan kami. Susah juga ya cari topik. Ga salah sih kalau cowok sering uring-uringan karena udah capek mikir mau bahas apa eh malah chat nya di bales singkat sama cewenya.

"Kamu bawa jaket ga?" Adrian bertannya setelah menyelesaikan makan. Dan meneguk habis minumannya.

"Engga, kenapa emangnya?" Dia hanya menggauk anggukkan kepala. Maksudnya apa yaa?

Adrian berdiri dari tempat duduknya. Lalu segera membayar pesanan ke pada bapak tua yang berjualan. Kasihan sekali, dari wajahnya sudah terlihat sangat tua. Sudah semestinya beristirahat menikmati sisa waktu hidup. Dunia emang keras ya.

"Ayo" setelah mendapat ajakan dari Adrian, aku segera menyusul dia untuk berdiri dipinggir warung tenda. Bingung juga kenapa ga langsung jalan aja ke mobil. Keburu makin deras nih.

Tiba-tiba Adrian melepas jaket kulit berwana hitam miliknya, dan menempatkan di atas kepalaku. Memberi isyarat untuk segera berjalan. Adrrian menggandeng tangan kiriku, dan tangan yang satunya masih setia memegangi jaket yang ada diatas kepalaku. Membuat posisi dia seolah-olah merangkul pundakku dari belakang.
Lalu, kita berlari menuju mobil berwana hitam milik Adrian.

Sialan! Kenapa ada adegan kayak gini sih?!
Masa gini aja aku baper. Tahan Karin tahan. Ga boleh gampang baper sama cowok. Baru gini aja hati kamu mau ambyar. Ga boleh!


"Permisi mbak, ruang praktek dokter Adrian di sebelah mana ya?"

"Dokter Adrian Wijaya?"

"Iya, mbak."

"Mbaknya lurus aja mbak, nanti ada lorong di sebelah kanan tempat poli umum. Ruang dokter Adrian ada di kanan jalan." Mbak resepsionis yang aku ga tau namanya karena dia ga pake name tag itu menjelaskan letak ruang praktek Adrian. Hari ini aku datang ke rumah sakit tempat dia bekerja. Hendak mengantarkan cheesecake pemberian mama.

"Oke, terima kasih ya."

"Tapi mbak itu," baru saja aku hendak melangkah meninggalkan resepsionis. Mbak mbak yang tadi menunjukkan jalan menahanku. "Sekarang lagi jam makan siang munkin dokter Adrian lagi di kantin. Kalau boleh tau mbak siapanya ya?"

Lah kenapa jadi nanyain statusku dan Adrian. Mungkin dia mengira aku pasie Adrian kali ya.

"Saya temennya mbak." Lebih baik mengaku sebagai temannya saja. Dari pada jadi gosip kalau Adrian di apelin, kadian juga nanti.

"Lho mbak temennya dr. Adrian? Saya kira pasiennya soalnya kan harus daftar dulu mbak kalau mau konsultasi. Tapi mbak beneran temen dr. Adrian?"

"Iya, emang kenapa mbak?" Aku berusaha menunjukkan ekpresi bingung.

moccacinyouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang