'MCY ; 37'

223 18 1
                                    

Malam ini aku dan Adrian mengelilingi Mall yang cukup ramai ini.  Setelah lama bingung mau ngapain, karena dari awal memang tidak ada tujuan mau ke mana, akhirnya kami duduk di kedai es krim.

Entah faktor weekand atau kedai ini yang cukup hits, tempat duduknyan full. Mengakibatkan kami memilih duduk di kursi dekat eskalator, yang mana kursinya bersebelahan.

Aku sibuk melahab es krimku sambil melihat orang lalu lalang, sedangkan Adrian sibuk sendiri dengan ponselnya. Dia tidak membeli es krim juga, tapi sesekali meminta miliku.

Tiba-tiba Adrian mendorong kepalaku ke bahunya. "Nyandar aja."

Nurut, aku menyandar di bahunya, dengan posisi begini aku bisa melihat apa yang ada di ponsel Adrian. Tidak seberapa jelas, hanya terlihat tulisan-tulisan juga aplikasi yang bertema keunguan.

"Apa tuh, Yan?"

"Hm, ini?" Tanyanya sambil memperlihatkan layar handphone-nya. "Ini aplikasi konsultasi online, jadi kalau kamu sibuk dan nggak sempat ke dokter atau rumah sakit terdekat, bisa pakai ini."

"Waaah, ada ya aplikasi gitu, baru tahu aku. Ada banyak doktet nggak, Yan, dokter spesialis gitu?"

"Ada, nih lihat banyak," jelas Adrian sambil menggulir layar ponselnya.

"Kalau yang ini profilku, tuh!"
Dapatku lihat foto Adrian juga nama lengkpanya dan statusnya sebagai dokter umum.

"Ngomong-ngomong, kamu ada niatan ambil spesialis nggak, Yan?"

Adrian mematikan layar ponselnya menyimpannya di saku celana, lalu menjilat sedikit es krimku sebelum menjawab, "Ada sih, kalau menurut kamu gimana?"

"Kamu tanya pendapatku? Kalau aku ya terserah kamu sih, Yan."

Adrian mengangguk-anggukan kepalanya. "Tapi, butuh belajar lagi beberapa tahun buat jadi spesialis."

"Selagi kamu nyaman dan serius kenapa engga. Eh, ada batas usianya nggak sih? Kamu kenapa nggak lanjut dari dulu?"

"Rata-rata maksimal ambil spesialis umur tiga puluh lima. Ehhmm ... alasan aku nggak lanjut yaa, aku awalnya mau cari pengalaman dulu, sampai jadi dokter IGD tuh pengalaman berharga banget. Sampai lama-lama kayaknya aku terlalu nyaman dengan pekerjaanku yang sekarang, tapi nggak bisa ngelak juga kalau sebagian dari diriku masih pengin lanjut spesialis."

Gantian, sekarang aku yang menganggukkan kepala, "ini perkerjaan cita-cita kamu dari kecil? Aku lihat kamu giat banget soalnya."

"Eeehm, dibilang dari kecil enggak juga, sih. Aku benar-benar pengin banget waktu duduk di bangku SMP."

Dia berhenti sejenak seperti mengingat-ingat sesuatu. "Tapi saat itu nggak terlalu berharap banyak, karena Papa yang keukeuh pengin aku kuliah bisnis dan melanjutkan usahanya. Dasarnya bandel, aku tetep milih IPA saat SMA. Wah debat sengit tuh aku sama Papa. Dimarahin habis-habisan karena diem-diem milih jurusan lain padahal waktu di rumah aku iya-iya aja disuruh ambil IPS."

"Lah, terus gimana kok bisa dibolehin akhirnya?"

"Awalnya aku bilang ke Papa nanti kuliah bakal lintas jurusan ambil bisnis. Diakhir tahun SMA aku udah nggak bisa nutupin lagi. Mama yang bantuin ngomong ke Papa. Saat itu Papa nantangin aku gimana caranya harus sukses, nggak mau tau pokonya harus jadi yang terbaik diantara mahasiswa lainnya kalau emang aku pengin banget masuk FK.  Lagian kalau dipaksa masuk bisnis nggak menjamin aku bisa sehebat Edgar sekarang, emang pasionnya beda-beda sih tiap anak."

Aku menyodorkan es krimku ke Adrian karena dia dari tadi nggak minta lagi. Diapun menjilat sedikit lalu melanjutkan, "That's why, aku memutuskan buat kerja dulu sampai aku berkecukupan buat hidupku dan melanjutkan pendidikan. Udah dewasa, udah emang waktunya bisa berdiri di kaki sendiri."

moccacinyouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang