'MCY ; 27'

276 30 0
                                    


Aku menggeliat dikasur empuk tempatku berbaring. Tidurku semalam nyenyak sekali, mungkin efek kecapekan. Aku tetap tidak berkutik saat Mama menggoyangkan bahuku. Tolong pagi ini saja, aku pengin lanjut tidur sampai siang.

"Karin ayo bangun, Nak. Udah jam delapan lho."

"Bentar, Maaa. Karin masih capek."
Jangan kaget kalau pagi-pagi Mama sudah ada di sampingku. Karena aku memang sering tidur di kamar Mama, kecuali kalau lagi lembur sampai pulang malam atau ada kerjaan yang di bawa ke rumah, aku tidur di kamarku sendiri biar nggak ganggu istirahat Mama.

Aku bisa merasakan pijitan pelan dibahuku. "Kamu libur aja ya hari ini. Kayaknya kamu kecapekan banget."

"Nggak, Ma. Bentar lagi bangun kok. Lima menit."

"Jangan dipaksain, Rin. Kamu itu udah hampir tiap hari lembur, istirahat sehari aja nggak masalah. Jangan maksain diri sendiri gitu. Kasian Mama liatnya," ujar Mama sambil mengusap rambutku.

Aku bangkit dari tidurku, lanjut duduk sambil senderan di punggung kasur. "Aku kerja aja, Ma."

"Tuh kan, maksa banget deh. Orang udah kelihatan muka pucat gitu. Jangan maksain, Rin. Kamu juga butuh istirahat, lagian nggak ada yang bakal marahin kamu kalau nggak masuk kerja. Absen sehari aja nggak bakal bikin kafe bangkrut."

"Bukan gitu, Ma." Aku mengucek mataku yang masih setengah terbuka, lalu menarik telapak tangan Mama. "Kalau Karin capek gini aja langsung absen, gimana pekerja lain? Mereka bahkan punya kerja sampingan juga. Gimana pekerja lain bisa disiplin kalau Karin sendiri malas-malasan."

Mama menghelah nafas sambil berkata, "Ya sudah, mandi sana! Pulangnya jangan kemaleman, Mama bosen tahu sendirian di rumah."

"Iya siap, Ibu negara." Aku bergegas bangun dan merenggangkan ototku sebentar, lalu pergi ke kamar mandi. Nggak tahu kenapa, berkataan Mama masih ganjel di hatiku. Hal itu lanjut sampai aku di kafe pun masih kepikiran. Mungkin emang benar sih, aku jarang banget menghabiskan waktu bareng Mama. Pagi berangkat kerja, pulannya larut malam.

Walaupun aku sering sengaja tidak makan malam di kafe biar bisa makan bareng Mama di rumah. Cuma kalau terpaksa lembur sih, udah pasti nggak bisa. Ih, jahat banget deh aku. Mama pasti sedih banget setiap hari sendirian, dengan aku menelepon atau Salsa ajak video call tiap hari juga pasti mama masih butuh orang yang ada di sampingnya. Ya Allah maafin aku, akhir-akhir ini jarang merhatiin mama.

"Heh! Bengong aja lu!"

"Apaan sih, gaje!"

Stephani menonyor kepalaku yang spontan membuatku memutar bola mata malas, "eh gue mau ngomong nih."

"Lah emang ente dari tadi ngapain? Ngopi?"

"Iya juga ya, tapi bukan gitu bahlul. Gue mau ngomong serius nih."

"Lu kalo mau diseriusin jangan ke gue dong. Minta ke Faisal sono, ya kali lu mau serius sama gue."

Lenganku terasa panas setelah mendapat cubitan maut Stephani. Beneran deh, sakit banget kalau dia yang nyubit. "Sakit anjir!"

"Lagian congor lu mangap mulu sih! Jawab aja dari tadi, diem dulu napa!"

"He'em"

Stephani menutup kembali mulutnya yang hendak bercerita. Digantikan dengan senyuman ramah kepada pelanggan yang baru masuk kafe. "Ok lanjut. Lu ngerasa nggak, Rin. Kayaknya Kak Vian lagi ada masalah deh."

"Hm?"

"Iya, masa lu nggak paham? Dia akhir-akhir ini beda banget. Ya walaupun dia kalau ada masalah pasti nyembunyiin sih, nggak bakal cerita juga. Tapi ini beda deh, Rin. Gue jadi takut dia kenapa-napa."

moccacinyouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang