Beauty Shaming

133 20 2
                                    

10 Agustus tahun lalu, gue sempat membicarakan body shaming yang lagi happening. Banyak orang yang menyuarakan anti body shaming ini. Sampai bikin kampanye, bikin akun yang isinya persuasif, ya macam-macam lah.

Mengenal body shaming semakin membuat gue hati-hati. Terutama dalam ucapan. Karena gue yakin, apapun yang gue ucapin, pasti ada balasannya. Makanya gue selalu mikir ulang kalau dapat perkataan yang kurang enak dari orang. Takutnya, gue dulu pernah melakukan hal itu sama orang lain (meskipun tidak dengan orang yang sama).

Jangan malu untuk introspeksi diri.
Jangan pernah merasa benar.
Jangan pernah merasa puas.

Beauty Shaming.

Seringkali kita mengakali bagian wajah yang tidak kita suka. Apalagi di zaman millenial ini, produk kecantikan sudah berkembang pesat. Mau alis tebal, tinggal gambar. Mau pipi ditirusin, tinggal pakai contour. Mau bulu mata sepanjang apapun, tinggal tempel. As simple as that.

Tapi kalian pernah mikir gak sih, kenapa kita sampai segitunya ingin berubah. Kenapa kita sampai setidak bersyukur itu dan malu sama yang kita punya? Gue memikirkan hal ini 24/7 sampai menemukan kalau faktornya selain dari diri sendiri adalah lingkungan.

Kayaknya kita hina banget kalau punya hidung terlampau pesek, atau alis yang nyaris tidak terlihat. Giliran ada orang berjalan dengan alis super tebal, dibilang ulat bulu. Jadi maunya lingkungan kita itu apa?

Inti dari permasalahan ini hanya faktornya. Kalau diri sendiri, iya jelas. Harusnya kita bisa lebih selektif dan tahu apa yang betul-betul dibutuhkan.

Tapi kalau dilihat dari lingkungan gue, lingkungan gue ini super toxic. Apapun dikomentari. Mulai dari cara pakai kerudung, tinggi badan, warna kulit, berat badan, sekalipun kelopak mata.

Gue pernah mendapat kalimat seperti ini,

"Jerawatan terus ya lo, eh tapi ketutup sih sama hidung lo, jadi gak begitu ketara."

Kalau gue artikan, gue jerawatan, tapi gak masalah. Karena yang lebih terlihat menonjol dari kejelekan wajah gue itu terletak di hidung. Heran aja, sih. Orang bisa segitu memerhatikannya wajah gue, orang bisa segitu pedulinya sama kejelekan wajah gue.

KENAPA GITU.

Jadi maunya lingkungan kita itu apa?

Sekarang kita balik, jadi kenapa kita harus menuruti kemauan lingkungan kita? Yang mostly malah bikin sakit hati, iri dengki.

Coba deh, mulai berpikir realistis. Idealis itu bagus, cuma kalau terlampau idealis, apa-apanya mau serba sempurna, kamu tidak perlu hidup di bumi. Tidak ada hal yang benar-benar sempurna.

Kalau kita sudah menyuarakan hal ini, lalu masyarakat dan lingkungan masih tidak peduli, masih mengejek, masih terus mencaci, masih terus mengomentari, mari berhenti.

Berhenti menuntut lingkungan untuk tidak beauty shaming. Percuma, meletihkan saja. Hasilnya nihil. Lebih baik, semua yang baca ini, tidak perlu memikirkan lingkungan kalian yang akan mengomentari wajah kalian, dan mulai beralih untuk menjadi diri kalian sendiri.

Sudah saatnya kita self improvement and commit to personal growth.

POINT PENTINGNYA, be kind to others.

Kita harus yakin kalau kita baik sama orang, kita akan dapat balasan yang sama meski bukan dari orang yang kita baikin.

BE KIND, BE KIND, BE KIND!
Jangan capek jadi orang baik hanya karena belum dapat balasan.
Jangan pernah berhenti jadi orang baik karena kamu selalu disakiti.
Jadilah manusia yang baik, yang mengerti kalau ideal itu bukan berdasarkan pemikiran orang.

Segmen RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang