Kekonyolan Pubertas

168 31 7
                                    

Berharap seperti Cinderella saat pubertas itu mustahil. Meski ada sebagian orang yang menjalani pubertasnya dengan hati gembira, gue menjadi salah satu orang yang menolak kegembiraan itu.

Gue pikir, pubertas itu masa dimana gue seharusnya berubah. Yang tadinya gue gak bisa diem, mungkin gue harus bisa lebih terkontrol.

Pubertas ya... kalau menyangkut pubertas gue otomatis mengaitkannya dengan remaja. Siapa remaja yang tidak tahu pubertas? Keadaan luar biasa yang mengubah hidup lo 180 derajat. Kalau ditanya kenapa gue bisa segitu malasnya sama pubertas, karena pubertas mengandung perubahan.

Kadang ada perubahan-perubahan dalam diri gue yang tidak bisa gue terima. It means, gue membiarkan aspek lain berubah selain yang satu ini. Perubahan itu identik dengan banyak hal. Salah satunya perubahan fisik.

Kalau gue ingat-ingat bagaimana keinginan gue untuk menjalani masa pubertas itu, gue akan bilang gue pingin jadi kayak Elsa. Mimpi gue itu tinggi banget, walaupun cuma sebatas pubertas.

Gue kira gue bisa makan pizza di dominos sambil ketawa-ketiwi sama teman. Nyatanya, gue gak berani makan pizza karena kondisi wajah gue yang saat itu super jerawatan.

Gue kira gue bisa bersikap layaknya kurid haus ilmu di toko buku sambil pakai kacamata dan bawa tumpukkan buku. Nyatanya, gue gak berani lepas masker demi nutupin wajah gue. Boro-boro gaya-gayaan pakai kacamata supaya terlihat seperti kutu buku, buka masker mulut aja gue gak berani.

Gue kira tinggi gue bisa sampai menyentuh 170an cm, nyatanya 160 aja gak sampai (meskipun sampai sekarang gue masih berharap untuk tumbuh tinggi, sih). Gue kira wajah gue akan semakin tirus begitu dewasa, nyatanya, tirus enggak nambah tembam iya.

Gue sebenarnya tidak sepenuhnya menyalahkan pubertas. Karena itu takdir. Mau lo planning sesempurna apapun kalau kodratnya bukan A ya lo gak akan dapet A.

Banyak hal konyol yang bisa bikin mindset gue berubah. Yang awalnya sebel banget kenapa gue merasa cuma gue yang pubertasnya berlebihan, sampai akhirnya gue bisa tau kenapa pubertas gue berbeda dari orang lain.

Disaat teman-teman gue dengan pedenya post foto diinstagram dengan gaya yang unik, busana yang keren, gue cuma bisa upload foto-foto kartun disney atau pacar gue Xiumin exo.

Ke gue kiraan diatas itu mengundang banyak tanya dihidup gue. Konyol gak sih kalau tiba-tiba gue bilang gue pingin hidup sempurna? Kesannya kayak gue gak bersyukur sama apa yang gue punya. Gue bisa nafas aja harusnya udah bersyukur.

Gue sangat amat menyayangkan pola pikir gue yang childish. Yang pinginnya hidup bahagia dan senang-senang aja. Yang pinginnya dilayani bak ratu kerajaan. Yang pinginnya diperhatiin semua orang. Tapi dari pubertas itu gue merasa bersyukur, kalau pubertas menyebalkan itu tidak datang pada gue, mungkin sekarang gue masih berandai-andai untuk menjadi seorang puteri kerajaan yang secara kebetulan bertemu dengan Jack Frost.

Inti dari omong kosong gue ini adalah, kekonyolan pubertas mengubah mindset ku.

Jadi... apakah pubertas kalian sama konyolnya?

Di kamar sambil makan roti mocha dan pusing karena materi yang mesti dipelajari untuk PHB terlalu banyak - Bita, 2019.

Segmen RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang