Part 1

83 7 2
                                    

Matahari menyelisik masuk lewat celah korden yang tak tertutup sempurna membuat sang empunya kamar meringis silau. Almaira perlahan bangun dan merengggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

Ia turun dari ranjang dan membuka jendela kamar untuk menghirup udara pagi yang masih belum dicemari asap kendaraan. Ia tersenyum simpul mengingat hari ini.

Bergegas membersihkan diri, Maira, sapaan akrabnya langsung menuju dapur untuk membantu sang mama yang sedang menyiapkan sarapan.

"Pagi mama." Sapa Maira sembari memberi kecupan di pipi.

"Pagi sayang. Kamu cuci piring habis sarapan aja. Sekarang kamu ke supermarket depan beli susu gih." Kata Novia, sang mama.

"Ok bos. Ada lagi??"

"Sama beli cemilan ya, kasian kalau Rendra kesini pasti enggak ada apa-apa."

"Ngapain ngurusin anak orang ma? Dia mah emang sukanya main dateng aja enggak ngabarin."

"Tapi kan kasian Mai tiap dateng dapet teh aja sama roti. Takut dia bosen tapi enggak enak ngomong."

"Elah mama peduli amat. Bodo ajalah dia bosen. Orang dia aja juga kesini enggak bawa apa-apa. Padahal Maira udah minta di beliin martabak."

"Kamu kira Rendra itu siapa kamu sampe berani nyuruh-nyuruh gitu?"

"Elah ma. Beli martabak seporsi enggak bakalan bikin Abimanyu Group bangkrut kali. Emang dasarnya pelit ja."

"Hush sembarangan aja kalau ngomong. Udah sana jalan." Suruh mama sambil memberikan uang.

Maira langsung pergi tanpa menjawab lagi. Ia tahu kalau tak akan ada cerita bahwa dia menang melawan mamanya.

Ia langsung ke supermarket dan membeli pesanan mamanya.

"Debit aja bayarnya mba." Kata seseorang menyela saat Maira hendak membayar belanjaannya.

"Eh eh enggak usah. Saya bayar sendiri aja mas." Maira sepontan mendorong jauh tangan lelaki yang berdiri di sampingnya tanpa melihat.

"Enggak apa-apa Mai. Gue aja yang bayar." Sambut lelaki itu.

"Ih lo ngapain pagi-pagi disini? Udah gue bayar sendiri aja. Mama yang suruh ini." Jawab Maira begitu melihat Narendra.

"Gue yang bayar. Tidak ada penolakan." Narendra langsung menyerahkan kartunya.

Maira hanya berdecak sebal dengan kelakuan sahabatnya itu. Setelah mengucapkan terimakasih ia langsung pergi.

"Gue anter yo ambil mobil dulu tapi." Narendra meraih tangan Maira.

"Pakai ojek aja cepet." Maira berusaha melepas tangannya.

"Sama gue aja." Narendra langsung menarik Maira tanpa penolakan.

Ia langsung membukakan pintu untuk sahabatnya itu dan memaksanya masuk. Dengan tampang kesal akhirnya Maira masuk juga membuat Narendra terkekeh pelan dan langsung memutari mobil untuk diduduk di kursi kemudi.

"Jangan cemberut gitu. Udah enggak cantik cemberut dih mana ada cowok mau sama lo." Cibir Narendra.

"Ati-ati tuh mulut kalau ngomong. Belum pernah kena cium sendal jepit gue ya lo."

"Kan kasar lagi ngomongnya. Gue heran gimana ceritanya itu si Ardha bisa suka sama lo."

"Maksud lo gue enggak pantes gitu sama Ardha?" Maira menatap Narendra tajam.

Tahu sahabatnya mulai kesal, Narendra hanya mengangkat bahunya ringan dan tetap fokus pada jalanan yang mulai padat.

"Lo sembarangan banget ya ampun kalau ngomong ya.. Astaga mimpi apa gue pagi- pagi ketemu manusia macam lo gini?" Cibir Maira balik.

Wrong SideWhere stories live. Discover now