Part 22

7 1 0
                                    

Jam 1 siang, Maira sudah menunggu Bastian datang untuk bimbingan terakhir. Ia cukup gugup karena hari ini adalah penentuan yang besar baginya.

"Hei... gugup ya?" tanya Tian sambil mengusap kepala Maira lembut.

"Ah akhirnya kamu datang juga. Aku gugup banget. Mudah-mudahan nggak perlu revisi lagi. Kalau bisa jangan ya." Maira dengan cengiran khasnya.

"Kamu kan mahasiswa kesayangan pasti nggak akan di persulit."

"Wah konspirasi ini namanya.."

"Boleh kita mulai sekarang? Mana Skripsi kamu."

Maira menyodorkan skripsinya dan melihat Tian dengan serius membaca isinya. Ia cukup gugup menunggu Tian yang tidak berkomentar apapun. "Tian gimana?"

"Sabar. Aku masih baca Mai."

"Buruan."

"Aku dosennya kok kamu yang bawel ya?"

Maira cengengesan dengan wajah polosnya menanggapi ucapan Tian. Ia benar-benar berlaku seperti anak kuliahan yang sudah tidak sabar menunggu keputusan kapan akan sidang. Ia benar-benar tidak sabar menunggu hasilnya. Karena jika dia sudah mengantongi ijazah maka ia akan diberi kepercayaan untuk sepenuhnya memegang kantor papanya yang di Jakarta.

"Okay. Aku nggak ada masalah sama skripsi kamu ini. Aku akan mengajukan ini ke administrasi untuk dapat jadwal."Tian tesenyum hangat. "Kamu seneng?" lanjutnya.

"Sangat Tian. Makasih ya." Maira berlari memeluk Tian yang sedang duduk di kursinya dari samping.

"Mai.." tiba-tiba suara Rendra menginterupsi.

Maira dan Tian kelimpungan dan segera bergerak menjauh. "Rendra." lirih Maira.

"Kamu ngapain?" suara Rendra terdengar menahan marah.

Maira memutar bola matanya malas. "Gue lagi bimbingan. Lupa lo?"

"Bimbingan mana ada peluk-peluk gitu?"

"Jangan salah paham Ndra. Maira cuma terlalu seneng aja skripsinya lolos. Dan minggu depan semoga dia bisa sidang." sela Tian tak mau Rendra salah paham.

"Udah kelar kan? Ayo balik." Rendra lansgsung menyeret Maira pergi tanpa menunggu jawaban. Ia mendorng kasar tubuh Maira untuk masuk ke dalam mobil miliknya. "Lain kali jangan kegatelan peluk-peluk cowok sembarangan."

"Iya."

"Kamu inget kan aku calon suami kamu?"

"Iya."

"Aku juga nggak suka kamu terlalu dekat sama Eza."

"Iya."

"Nggak bisa ngomong yang lain?"

"Bisa."

Rendra berdecak kesal karena Maira irit bicara kali ini. Biasanya dia yang akan berbalik kesal saat Rendra marah padanya. Ia juga heran mengapa Maira justru lebih penurut. "Mama sama papa kapan pulang dari Bandung?"

"Besok kayaknya. Belum ada kabar."

"Nginep di rumah aja ya? Ayah sama bunda ada kok."

"Jangan ah. Malu. Lagian nggak ada Renata."

"Terserah kamu aja."

"Gue laper. Belum makan siang."

"Saking kangennya sama Bastian sampe nggak inget makan?"

"Ish apaan sih? Nggak gitu kali. Kan gue habis meeting sama karyawan pagi sampe jam 11 karena takut telat bimbingan makanya langsung ke kampus."

"Alasan aja. Jangan sampe aku khilaf."

"Itu sih elunya aja yang banyakan modus. Udah buruan ke warung langganan kita. Gue laper."

"Habis ini temenin aku balik ke kantor. Aku harus tandatangan surat penting."

"Serah yang penting sekarang gue laper."

Rendra langsung memutar mobilnya menuju warung pinggir jalan langganan mereka sejak kuliah dulu. Dan mereka pun sampai.

"Makan apa?" tanya Rendra pada Maira yang tak mengeluarkan suara saat sudah dapat tempat duduk.

"Soto ayam aja pake nasi setengah." jawab Maira singkat.

"Eh mas Rendra. Tumben bawa pacar kesini." kata Pak Slamet pedagang warung.

"Ini Maira pak. Pasti lupa ya?" jawab Rendra dengan cengiran khasnya.

"Mba Maira? Wihhh makin cantik aja. Kemarin mba Renata kesini juga sama calon suaminya mas." kata Pak Slamet.

"Masa pak? Wah kok dia nggak bilang ya." kali ini Maira bersuara.

"Iya mba. Cantik ya mba Renata. Calon suaminya juga ganteng banget. Sama kayak mas Rendra." imbuh Pak Slamet.

Rendra terkekeh mendengar Pak Slamet yang semangat menceritakan Renata dan Leon. Ia menatap Maira yang diam dengan ekspresi datar. "Mau nambah, Mai?" tanya Rendra akhirnya.

"Nggak." Maira menjawab dengan ketus.

"Ya udah. Ayok ke kantor dulu. Aku masih ada beberapa kerjaan." Rendra terkesiap saat melihat Maira langsung bangkit dan berjalan tanpa suara ke arah mobil.

"Lagi berantem ya mas?" tanya Pak Slamet yang memperhatikan Maira pergi tanpa suara.

Rendra terkekeh pelan. "Lagi PMS pak." Jawab Rendra asal.

Pak Slamet ikut terkekeh dengan jawaban asal Rendra. Rendra segera menyusul Maira setelah membayar dan mengucapkan terimakasih.

Mobil Rendra melaju menuju kantor dengan suasana sepi. Maira hanya diam tak berniat memulai obrolan. Rendra terdiam karena ragu untuk memulai karena melihat Maira yang tiba-tiba diam.

Mobil Rendra akhirnya sampai di kantor. Mereka langsung berjalan beriringan menuju ruangan Rendra. Disana Maira hanya tersenyum simpul melihat Lana. Lana mengernyit heran dengan sikap gadis bosnya yang tidak seperti biasa itu.

"Mau minum?" tanya Rendra setelah mereka sampai di dalam ruangan.

"Nggak." jawab Maira singkat.

"Kamu kenapa?" Rendra mendekati Maira dan mengelus puncak kepala gadis itu lembut.

"Gue tidur ya." Maira langsung merebahkan tubuhnya di sofa ruangan Rendra.

Rendra menghela napas kasar melihat sikap Maira yang tidak seperti biasanya. Ia bingung kenapa gadis itu tiba-tiba tak berniat bicara sama sekali, padahal biasanya dia akan selalu punya topik pembicaraan. Bahkan kadang Rendra sampai menyuruhnya untuk diam barang 1 menit.

Rendra kembali ke kursinya dan sibuk dengan beberapa berkas yang harus ia tandatangani. Hari ini pekerjaannya lumayan banyak, tapi karena Maira minta di jemput jadilah dia meninggalkan pekerjaannya itu. Sekarang dia harus kembali dan menyelesaikan pekerjaannya hari ini juga. Ia sesekali melirik Maira yang terlihat tertidur pulas denga posisi tidak nyaman.

Rendra tersenyum simpul melihat gadis yang biasanya galak itu tetiba jinak dengan alasan yang tidak jelas. Meskipun masih bingung, tapi ia menikmati kebersamaan mereka saat ini. Di tambah lagi dengan tidak banyaknya kalimat pedas yang terlontar dari mulut gadis cantik itu.

Pekerjaan Rendra akhirnya selesai tepat jarum jam menunjuk ke angka 5. Ia heran mengapa Maira tetap pulas meskipun sudah tertidur lebih dari 2 jam. Dengan segera ia menghampiri Maira. Tangannya terulur ke kening gadis cantik itu saat melihat buliran keringat dingin mengalir disana.

Rendra terkesiap saat mendapati Maira demam tinggi. Ia langsung mengangkat tubuh Maira dan membawanya pulang ke rumahnya.

Ia sudah memberitahu bundanya agar menelpon dokter keluarga ke rumah untuk memeriksa Maira.

Sampai di rumah, Rendra langsung membawa Maira ke kamarnya untuk di periksa dokter Indra.

"Maira cuma capek, Ndra. Dia kayaknya banyak pikiran." Kata lelaki yang disapa kakak oleh Rendra itu.

Rendra hanya diam sembari mengusap sayang puncak kepala Maira. Ia bahkan tak tahu bahwa Indra sudah pamit pulang.

Wrong SideWhere stories live. Discover now