Raditya Life Story #23

204 14 0
                                    

Alfin mendial sebuah nomer dari ponselnya. Terdengar nada hubung, namun masuk belum di angkat juga. Ini kali ketiga dia menelepon. Namun tidak di angkat juga. Hingga suara operator yang muncul, akhirnya Alfin menyerah. Sepertinya dia memang harus menunggu keputusan dari Anto terlebih dahulu baru dia bisa memberitahukan Zani.

Suara dering ponsel, membuat Alfin tersadar. Alfin yang tadinya ingin beranjak tidur kembali bangun saat mendengar dering ponsel itu. Alfin mengambil handphone miliknya. Nama Anto tertera di sana. Alfin menerima panggilan itu.

"Gue terima--"

Tut tut tut ....

Panggilan langsung terputus. Alfin menjauhkan handphone dari telinganya. Kemudian mencoba memanggil lagi Anto, namun panggilannya malah di tolak. Hingga kali ke 5 Alfin hendak menelepon Anto, tiba-tiba ada nama Panca yang memanggilnya.

"Anto telepon gue tadi," ujar Panca di seberang sana secara langsung.

"Iya. Tadi dia juga telepon gue. Tapi cuma bilang 'Gue terima' aja, udah itu langsung putus panggilannya."

"Sama gue juga. Apa ini tadanya dia seteuju?"

"Kalau menurut gue sih iya, soalnya apa lagi coba. Kita gak ngajuin hal lain lagi."

"Berarti kita lanjut ke langkah berikutnya ... Zani."

"Hm, gue udah coba nelepon dia tapi gak di angkat. Nanti gue coba lagi, kalau dia ngabarin. Gue akan kabarin lo lagi."

"Gue tunggu kabar lo."

Panggilan terputus, Alfin mengirim pesan pada Zani.

To : Zani

Zan ... gue bisa ketemu. Ada yang harus gue omongin sama lo. Tempatnya terserah lo aja, gue ngikut

💌

"Mana sih, kok belum dateng juga."

Alfin menyuruput minuman di depannya. "Sabar, Ca ... baru aja 15 menit kita nunggu," ucap Alfin sembari melihat jam di pergelangan tangannya.

"Heh, dia gak tahu apa? Waktu itu adalah hal yang paling berharga di dunia ini. Semua bisa di beli oleh uang, tapi waktu nggak," protes Panca.

"Maklumin lah, dia lagi di luar kota dan langsung ke sini. Masih baik dia mau terima ajakan kita."

"Ya tetap aja. Terlambat adalah terlambat. Gak ada hal lain. Dia gak tahu apa, gue banyak korbanin waktu dan--"

"Permisi," potong seseorang.

Alfin dan Panca mengalihkan pandangannya.

"Eh, Zan ... duduk," titah Alfin dengan menunjuk kursi di depannya.

"Sorry, Fin ... pesawatnya delay tadi."

Alfin melirik ke arah Panca. Panca berdecak pelan. "Iya-iya gue salah."

"Langsung ke intinya saja."

Zani mengangguk.

"Lo jawab yang jujur, ya?"

"Ih, apaan sih, Fin? Emangnya gue pernah bohong apa?"

"Apa susahnya tinggal jawab iya." Ucapan Panca membuat Zani melirik ke arahnya.

"Oh ya, dia Panca."

"Zani. Rizani Rafisya," kenalnya.

Zani menjulurkan tangannya, dengan malas Panca menjabat tangan itu.

"Panca," jawabnya ketus, dia masih sebal. Panca paling tidak bisa mentolelir keterlambatan, apapun alasannya.

Kalaupun benar pesawatnya delay, harusnya dia mengabari teelebih dahulu. Pesawat delay pun pasti ada pemberitahuannya dahulu sebelum-sebelumnya.

Raditya Life StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang