Raditya Life Story #28

160 10 0
                                    

Adit mengendari mobilnya dengan keheningan. Dia sedang dalam perjalanan untuk ke rumahnya, jangan lupakan Zani yang duduk di pinggirnya dengan Zafran di gendongannya yang sedang terlelap. Setelah 3 hari setelah pernikahan, Adit dan Zani menginap di rumah Rina dan hari ini dia akan pulang ke rumahnya dan Zahra. Ya, rumahnya dan Zahra.

Beberapa menit kemudian, mobil yang di kendarai Adit pun masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Alfin yang ada di depan rumah langsung menghampiri Adit dengan koper yang di seretnya. Adit sedikit terheran melihat Alfin membawa koper, dengan segera, Adit menghampiri Alfin.

"Ke mana? Kok lo bawa koper?"

Alfon terseyum kecil. "Yakali gue masih tinggal di sini, Dit. Lo 'kan udah punya istri lagi, nanti gue ganggu lagi. Lagian rumah gue juga udah beres transaksinya dan Teteh gue juga bakalan pulang pertengahan bulan nanti, jadi gue harus siapin rumahnya. Meminimalisir rasa cape, ya sekalian aja gue langsung tinggal di sana."

"Tapi beneran karena hal itu, 'kan? Bukan yang lainnya? Bukan karena lo cape sama gue yang terus aja cerita masalah gue? Ataupun karena gak enak ada Zani?"

"Yang terakhir alasan ke dua sih. Tapi alasan gue yang utama tetap yang tadi. Kalaupun lo gak bawa Zani ke sini pun, gue tetap harus pergi buat urus rumah."

Alfin menepuk pelan pundak Adit. "Thanks ya udah kasih tempat tinggal gratis buat gue. Dan thanks juga buat yang lainnya. Lagian rumah gue masih di Bandung, kok. Mungkin sekitar 45-60 menit perjalanan. Jadi kita masih bisa sering ketemu."

"Kalau gitu, gue pamit dulu ya, have fun."

Adit menerima uluran tangan Alfin dengan senyumnya kemudian mereka berdua saling berpelukan. Setelah melepaskan pelukannya, Alfin pun pergi dengan menggunakan sepeda motornya. Setelah Alfin hilang di tikungan, Adit pergi ke mobil, mengambil barang-barang milik Zafran dan Zani yang ada di bagasi. Di mobil, mereka berdua sudah tidak ada mungkin langsung masuk ke rumah saat Adit sedang mengobrol dengan Alfin.

Adit menyimpan barang Zani dan Zafran di kamar. Zani ternyata ada di sini, tidur bersama dengan Zafran di pinggirnya. Tanpa menimbulkan suara, Adit membereskan pakaian Zani dan perlengkapan Zafran. Setelah selesai, Adit pergi ke sisi di mana Zafran tidur. Dia mengelus pelan puncak kepala Zafran sambil tersenyum. Untuk beberapa detik, pandangan Adit sempat tertuju pada Zani yang tidur menghadap Zafran dan tangan yang memegang bagian tubuh Zafran.

Zani baik, orang yang sangat baik. Dia pun pribadi yang menyenangkan. Adit akui itu. Hanya saja, cara Zani masuk ke hidupnya membuat Adit menjadi 'sedikit' tidak menyukainya. Lagipula, tidak akan pernah ada orang yang bisa menggantikan Zahra di hidup Adit.

Adit segera menepis pemikiran itu, lalu pergi ke luar kamar dengan segera. Tak lupa mengambil buku kecil dan laptop milik Zahra.

💌

Adit membuka folder yang sudah ada di dekstop layar lalu memilih folder yang bernama 'Alasan'. Ada 5 file di sana. 4 file yang sudah Adit baca, dan kali ini yang terakhir.

Adit membuka buku kecil, untuk mencari password untuk file itu. Di file 'Alasan' ini sendiri passwordnya berbeda dari yang lain.

335609tw.

Adit memasukkan sandi itu, dan file itu terbuka. Adit pun mulai membacanya.

Zara suka sama Aa. Itu yang bisa aku tangkap.
Zara mencintai Aa. Itu yang bisa aku tangkap.
Zara menginginkan Aa. Itu yang bisa aku tangkap.
Zara menyayangi Zafran. Itu yang bisa aku tangkap.
Dan,
Zara sangat ingin hidup bersama Aa. Itu yang bisa aku tangkap.

Mungkin, Aa gak percaya dengan ini. Namun, bukankah sesuatu yang sulit di percaya terkadang adalah hal yang paling nyata?

Aa mungkin gak sadar, tapi aku sangat sadar. Saat pertama kali aku mengenalkan Aa pada Zara, tatapan matanya berbeda, A ... entah kenapa, aku merasa tatapan matanya sama seperti saat aku melihat Aa untuk yang pertama kalinya.

Aku mencoba menepis hal itu, tidak! Zara adalah sahabatku. Dia tidak mungkin menyukai orang yang sama sepertiku, itu pikirku pada awalnya.

Waktu demi waktu berlalu, hingga akhirnya aku mulai sedikit lupa mengenai kenyataan yang mungkin membuatku emosi sendiri. Namun nyatanya, baru saja aku bernafas lega. Tekanan kembali bersarang di dalam dada. Aa ingat saat kita berlibur bersama dengan anak-anak panti? Kebun bunga?

Saat itu, aku tidak bisa turun karena alergi. Zara mencoba membujukku namun aku tetap menolaknya. Hingga akhirnya saat Aa menutuskan untuk turun dari mobil dan bicara baik-baik dengan Zani, saat itu ... aku merasa kalau apa yang aku takutkan selama ini adalah hal yang benar adanya. Dapat kulihat dengan jelas, betapa gugupnya Zara saat Aa mulai membuka pintu untuk turun. Raut bahagia dan bingungnya saat Aa menjelaskan semua dapat kutangkap dengan sangat jelas.

Aku ingin memaki saat itu, berteriak keras di depan Zara. Namun aku tidak bisa, akan terlihat seperti orang gila. Memaki tanpa tahu alasannya. Aku hanya bisa mengepalkan keras lenganku, berharap emosiku akan mereda seiring berjalannya waktu. Saat Aa sudah masuk mobil, emosiku masih membuncah saat itu, namun dengan sekuat tenaga aku menutupinya.

Mungkin, aku sedikit senang dengan sifat ketidak-pekaan yang Aa punya. Dengan hak itu, aku bisa menutupinya, walaupun tak sempurna, tapi Aa tak pernah mengetahuinya.

Tidak hanya itu saja, sejak hari itu. Makin ke sini, aku makin melihat dan merasa jika Zara benar-benar sangat menyukai Aa. Caranya menatap Aa dengan sembunyi-sembunyi. Ekspresinya saat bertegur sapa dengan Aa. Dan puncaknya, saat aku benar-benar sangat-sangat yakin mengenai apa yang kupikirkan, yaitu saat aku dan Zara sedang bermain make over.

Aku bahagia saat Aa berkata mengenai kepemilikanku. Dan ketika Aa menggendongku, untuk sekilas, aku sempat mengalihkan pandanganku pada Zara. Dan Aa tahu saat itu aku lihat apa? Dia memang tertawa, namun aku melihat banyak garis lurus di keningnya dan matanya yang sayu. Bibirnya yang bergetar saat tertawa. Dan suaranya ketika berteriak malah lebih meyakinkanku.

Waktu kembali berlalu, dan kabar baik yang aku tunggu kembali datang. Zafran berada di perutku. Namun semuanya sedikit luntur saat dokter kembali mengingatkan mengenai kondisiku.

Entah apa yang merasukiku saat itu A, aku merasa ... aku gak akan punya waktu lama untuk menjaga Zafran. Dan itu terbukti, Aa membaca hal ini berarti pikiranku sangat benar.

Sejak mengetahui hal itu, aku mencoba menyusun segalanya, menyiapkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Mungkin Aa bingung, bagaimana aku menyiapkan segalanya, apalagi kondisiku saat mengandunh Zafran bisa di bilang tidak baik.

Aku tidak sendirian, Fira ... dia membantuku, atau lebih tepatnya aku yang meminta bantuan padanya. Dengan susah payah aku meyakinkan Fira agar bisa membantuku dan merahasiakan bantuannya. Bersikap seolah tak tahu dan tak mengerti apa-apa.

Aku yang memaksa Fira. Aa jangan marah apalagi tanya hal ini sama Fira. Dia cuma bantu aja, itu pun aku yang paksa.

Aku mohon banget sama Aa. Jangan salahin Fira dan bersikap baik pada Zara. Aku tahu Aa kecewa, namun itu semua demi keluarga.

:)

Adit langsung menutup laptop itu. Selalu ada rasa yang aneh setiap kali Adit selesai membaca tulisan milik Zahra. Entah apa itu. Namun Adit mengerti satu hal, setelah selesai membaca semua alasannya. Pilihan yang Zahra ambil memang yang paling terbaik bagi Zafran, ayah, Bunda dan yang lainnya. Namun, tidak bagi Adit sediri.

Tapi, lagi-lagi Adit hanya bisa menerimanya, Adit tidak mungkin mengorbankan kebahagiaan banyak orang hanya demi kebahagiaan dan kenyamanannya sendiri.

^^^

Yang terbaik tidak selalu menghasilkan kebahagiaan. Yang terbaik bisa saja malah membuatmu merasakan sebuah kehilangan. Dan yang terbaik tidak bisa menjamin kenyamanan.

#RadityaLifeStory

Raditya Life StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang