Raditya Life Story #27

151 10 0
                                    

Adit membuka kedua matanya dengan malas. Dia masih ingin tertidur lagi, kalau pun bisa untuk selamanya. Namun teringat dengan Zafran, dia mengurungkan niat untuk tidur selamanya. Tapi kalau pun bisa, Adit ingin pingsan saja hari ini, tertidur seharian penuh. Dia benar-benar tidak ingin beranjak sedikit pun dari tempat tidurnya.

Namun lagi suara alarm dan notifikasi telepon di handphone miliknya yang terus berbunyi secara bergantian, membuat Adit mau tak mau harus bangun juga akhirnya. Adit menghela nafasnya berat, tidak percaya jika hari ini benar-benar tiba.

Kenapa?

Hanya itu yang ada di kepala dan hati Adit belakangan ini. Meskipun Adit tahu jawaban dari kenapa yang dia maksud itu, tapi pertanyaan itu terus saja muncul dari hati dan pikirannya.

Dengan malas Adit mematikan alarm yang berbunyi untuk keempat kalinya. Dia pun bangkit dari tempat tidurnya untuk pergi bersiap. Namun suara dering handphone menghentikannya. Adit membalikkan badannya dan mengambil handphone miliknya, tertera nama 'Bunda' di sana. Adut langsung menjawab panggilan itu.

"Kamu ini ke mana aja? Dari tadi Bunda telepon kamu terus, kamu ingat 'kan hari ini itu ada apa? Bahkan ini sudah hampir jam 7, Dit! Kamu masih di mana? Acaranya mulai 30 menit lagi."

Adit sedikit menjauhkan handphone miliknya, suara Bundanya benar-benar sangat keras, dalam posisi jauh pun masih terdengar jelas.

"Assalamualaikum ...."

"Sshh, iya Bunda lupa ... Waalaikumsalam."

"Adit masih di rumah, Bun. Sebentar lagi Adit berangkat. Assalamualikum ...."

Tanpa menunggu jawaban dari Bundanya, Adit menutup telepon itu. Adit menyimpan handphonenya dan bergegas kembali pergi untuk bersiap, namun lagi-lagi dering handphonenya berbunyi. Nama bundanya masih tertera di sana. Adit memilih untuk mengabaikannya, dan pergi untuk bersiap.

Walaupun yang sebenarnya tidak ingin, tapi Adit harus menjalaninya, bundanya pasti akan selalu menerornya dengan terus menelepon. Sekitar 10 menit kemudian, Adit telah selesai dengan persiapannya, dia beralih mengambil handphone miliknya lalu mengetikan pesan pada bundanya.

To : Bunda
Adit berangkat sekarang, Bun. Jadi jangan telepon dulu biar bisa cepat sampainya.

Adit mengirim pesan itu, sengaja tidak melampirkan pesan yang selalu di ucapkannya saat hendak pergi 'Doain selamat di jalan.' Mungkin sedikit sengaja, Adit benar-benar tidak ingin bisa sampai ke sana dengan selamat. Mungkin kalau tidak ada Zafran, Adit akan dengan sengaja menabrakkan dirinya. Bukan di jalan raya, melainkan di rel kereta api. Biar sekalian, tidak tanggung-tanggung. Tapi karena teringat Zafran, Adit lagi-lagi mengurungkan niatnya.

Adit mengambil kunci motornya dan mulai mengendarai motornya di jalanan dengan cukup cepat. Ini benar-benar sudah siang. Walaupun Adit tak ingin, Adit tidak bisa melepas tanggungjawabnya begitu saja, bahkan sampai membuat keluarganya malu karena keterlambatannya. Beda lagi 'kan kalau dia terlambat karena sebuah kecelakaan__Ish, sepertinya dari tadi otak Adit selalu di penuhi tentang mengakhiri hidup saja.

'Ingat ada Zafran, Dit,' batinnya mengingatkan.

💌

Untuk kedua kalinya, Adit berada di posisi ini. Raut wajahnya lagi-lagi menunjukkan hal yang sama seperti saat pertama kali dia melakukan ini. Bedanya hanya perasaan hati dan kesiapannya. Jika yang pertama perasaan hatinya dilanda kebingungan, ketidak-tahuan dan ketidak-percayaan yang menumpuk jadi satu namun masih ada rasa hangat yang meliputinya; dan kesiapannya menjalani ini bisa di bilang berada di angka 80%. Namun yang kedua ini perasaan hatinya benar-benar kacau, ingin marah juga tidak terima; dan kesiapannya menjalani hal ini untuk yang kedua kalinya berada di angka mungkin kurang dari 10%, hanya karena dukungan niat yang mendorong Adit melakukan hal ini.

Raditya Life StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang