Semesta,
dan lagi-lagi,
--leluconnya.
Dia raga,
Yang aku kira rumah,
Sahabat,
Yang aku jadikan utama;Tapi nyatanya?
Kecewa.
Dia rumah,
Yang tak pernah menunggu ku pulang.-
Aku kira,
Bertambahnya usia,
Kan menambah dewasa,
Aku kira,
Tambah jauhnya perjalanan,
Kan meluaskan pikiran.
Lantas apa?Semakin banyak tuntutan,
Agar aku selalu ada,Mana bisa?
--jiwaku harus berkelana,
'Tuk penuhi lapar dahaga mereka,
'Tuk mencari jati diri jiwa.--
Kecewa.Sungguh kecewa.
Katanya bertemu hanya tiap ada masalah?
Lantas selama ini apa?
Halusinasi ku saja?
Saat jiwa raga penat,
Sekarang aku harus lari kemana?Mungkin memang selama ini aku terus yang salah,
Tuk berpikir semua baik-baik saja,
Tuk berpikir semua tidak masalah asal ada mereka,
Tuk berpikir bahwa;
Mereka lah sahabat jiwa.-
Kini terserah.Terus tuntut aku.
Sampai semua ego ku lenyap,
Sampai diri ini terkoyak tanpa sisa,
Sampai tak tahu harus bagaimana lagi.
Mungkin rumah ini bukan untukku;
Bukan untuk jiwa sepertiku.Mungkin kini saatnya salah satu ketakutan terbesar diketahui;
Diri ini dapat diganti.-A