23. Lunch (2)

14.1K 1.4K 233
                                    

Jangan pernah meragu
Disaat aku saja selalu merindumu

***

Mobil itu terparkir dengan cantik di sebuah restoran yang direkomendasikan Luna. Icha mengambil tas yang ia taruh di belakang kursi penumpang. Tetapi kalah cepat dengan tangan Aby yang sudah memeluk tas Icha. Lelaki itu tersenyum. Menjengkelkan sekali, mengapa Aby terlihat tampan sekaligus menggemaskan, sih?

"Kita bakal lunch disini, sayang?" tanya Aby. Mereka keluar dari dalam mobil. "Restoran baru, huh?"

"Kata Luna, restoran ini punya menu enak. Nggak ada salahnya kita mencoba kan?"

"Kamu yang bayar kan?" Aby menatap Icha melas, pasalnya kartu ATM Aby masih disita oleh Bundanya yang tidak berperikemanusiaan itu. Icha mengangguk. "Ayo, semuanya sudah menunggu di dalam."

What?! Semuanya? Menunggu?

"Kita nggak lunch berdua doang?" Icha menggeret lengan Aby, ia seperti seorang Ibu yang sedang memarahi anaknya yang tidak kunjung pulang.

Dan melihat semua keluarga besar Icha sudah berkumpul di meja besar, Aby membeku. Mengapa Icha tidak memberitahu kalau mereka akan makan bersama dengan keluarga wanita itu? Mereka semua terlihat berkelas. Oh, Ya Tuhan. Lihatlah Aby, dia seperti gembel yang hanya memakai kaus yang sudah lepek karena keringat, juga celana jins pudar seperti anak kuliahan pada umumnya. Belum lagi rambutnya yang sudah berantakan seperti bangun tidur.

Dia ternistakan oleh istrinya sendiri.

"Icha, Abyan kalian sudah datang? Duduk-duduk, kami sudah menunggu kalian. Lama banget sih," ucap Umi Amalia. Diantara semua keluarga Icha, hanya Amalia yang berpihak kepada Aby sepertinya. Oh ya, Dokter Raihan juga kok. Icha menyalami mereka semua, tak sungkan mencium pipi para kakak iparnya. Sementara Aby, seperti anjing kecil di semua mata kakak Icha.

Pertama, dia menyalami Anzar. Sudah jelas mengingat pria itu adalah kepala keluarga. Ayah dari istrinya. "Assalamualaikum, Abi."

Didepan Anzar, Aby tidak bisa berkata apa-apa. Lidahnya kelu. Tatapan mematikan Anzar padanya mematikan syaraf-syaraf otaknya. Memintanya untuk berdiam saja seperti patung.

"Ya, baru selesai kuliah?" itu pertanyaan perhatian atau mengejek ya? Mentang-mentang Aby terlihat dekil dan mungkin saja... bau.

"Iya, Abi. Baru pulang dan dikasih tahu sama Icha buat lunch bareng. Nggak tahu kalau bakal lunch bareng sama keluarga besar. Hehe."

"Nggak masalah." Sungguh datar sekali. Aby pun mendekati jejeran pria yang tidak lain adalah kakak Icha. Raihan menyapanya dengan senyuman ramah seperti biasa.

Beralih, pada Azzam dan Indira yang membawa putra mereka.
"Bang," Aby mengangguk singkat.

"Oi," jawab Azzam. Mereka berpelukan sesaat.

"Lepek banget sih, habis apa hayo di mobil?"

"Kakkk!" cecar Icha tidak terima. Apa-apaan kakaknya itu?

"Ngapa-ngapain juga nggak apa-apa kali, Cha. Kan udah halal." Kafka, lelaki keturunan Tionghoa itu mengedipkan mata. Membuat gelak tawa semua orang. Pasalnya Kafka itu sudah sipit. Seperti itu, semakin tidak terlihat lah matanya. Mereka semua duduk dengan tenang pada akhirnya. Icha menyodorkan buku menu pada Aby. "Kamu mau pesan apa?"

"Kamu aja yang pilih," jawab Aby. Dia masih merasakan keringat dingin ditatap oleh Anzar.

"Hmm, oke. Minumnya apa?"

"Terserah, Cha. Semua yang kamu pesan akan aku habiskan. Sungguh."

"Kamu kenapa? Kayak habis olahraga," Icha membantu mengelap keringat Aby dengan tisu. Anzar menatap mereka datar. Padahal, di dalam hati ia tertawa puas mengerjai menantunya itu.

[NUG's 5✔] Jodoh Untuk Alyssa (OPEN PRE ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang