28. Jika Hamil?

15.8K 1.2K 61
                                    

Denganmu saja, aku sudah merasa senang.
Jangan pernah melibatkan orang lain yang asing dalam hubungan kita, ya?

***

Selama empat hari, Icha mencoba memahami sifat Aby yang begitu kekanakan dan begitu manja. Aby tidak bisa tidur, kalau ia tidak memeluk Icha. Bahkan, Icha hampir sesak napas dibuatnya. Tidak hanya itu, Aby selalu meminta disuapi oleh Icha. Berakhir Icha yang merasa ia juga menjadi seorang Ibu. Tetapi anehnya, Icha sama sekali tidak mengeluh. Dia membalas perlakuan Aby dengan begitu tulus.

Jika membayangkan itu, Icha tidak berhenti untuk tetap tersenyum. Abyan Mahesa, mengapa bayangan Aby selalu terngiang-ngiang beberapa hari terakhir? Mereka bertemu tadi pagi, kan? Aby juga yang mengantarnya ke kantor. Dia seperti ojek pulang-pergi Icha.

Seperti sekarang, saat Icha sudah selesai dengan pekerjaannya di kantor, Aby sudah siap siaga menjemput. Icha sudah menyuruhnya untuk menunggu di mobil saja. Tetapi Aby dengan beribu cara mendebat itu. Dia mau menunggu istrinya di lobi dan memastikan Icha baik-baik saja.

Aby tertawa senang, saat Icha sudah terbiasa menyalami punggung tangannya. Aby hendak mencium pipi Icha, tetapi Icha melotot karena masih banyak para karyawan yang melihat interaksi mereka. Aby ngambek, mendahului Icha dan masuk ke dalam mobil.

Dan Icha, sama sekali tidak menyadari itu.

"Kita mampir ke supermarket sebentar ya, Mas. Mau beli kebutuhan kamar mandi," kata Icha, mengingat beberapa barang seperti sabun, dan pasta gigi di kamar mandinya habis.

"Mas?" Icha menoleh, ketika Aby sama sekali tidak menjawab. Lelaki itu fokus mengemudi.

"Aby?"

"Hm."

"Aku minta diantar ke supermarket. Kita mampir sebentar, nggak lama kok."

"Hm."

"Aby? Kamu kenapa?"

Aby terdiam.

Icha menghela napas. "Kenapa diam saja?"

"Nggak apa-apa," jawab Aby, tetapi Icha tidak percaya. Jawaban Aby sama sekali tidak meyakinkan.

"Bohong."

"Emang."

"Kenapa?"

"Gak apa-apa. Gak penting juga," jawab Aby sewot. Mereka berhenti di supermarket dekat perumahan Aby. Icha masuk terlebih dahulu, mengambil troli dan mulai berbelanja kebutuhannya. Icha bertanya-tanya, apakah Aby ingin membeli sesuatu. Tetapi Aby terus menggeleng, membuat Icha juga kesal sendiri.

"Mau cola?" tawar Icha saat mereka berada di stand lemari pendingin.

Aby menggeleng.

"Susu?"

Aby menggeleng.

"Snack?"

Aby menggeleng.

"Es krim?"

Aby menggeleng.

"Kalau aku?"

Aby mengangguk. Icha tertawa. Saat tersadar, Aby langsung menggeleng. "Gak mau!"

"Labil, tadi bilangnya mau."

"Males, kamu pelit."

"Kok pelit?"

"Iya, dicium nggak mau," tukas Aby, blak-blakan. Icha melotot, suara Aby terlalu keras. Pengunjung yang mendengar bisa salah paham. Apalagi kalau ada orang julid dan tak tahu hubungan mereka yang sebenarnya. Icha bisa dibantai karena disangka menikahi adiknya sendiri.

"Kapan?"

"Tadi di lobi, kan aku mau cium. Kangen," ujar Aby, dia merajuk seperti anak kecil.

Icha cengengesan. "Malu dong, Aby. Kan di kantor."

"Berarti kalau disini boleh?"

Icha cemberut. "Di rumah aja ya?"

"Mau disini," erang Aby, persis seperti anak kecil yang tidak diberi Kinder Joy.

"Oke-oke. Nanti di mobil?"

"Depan mobil." Memang Aby tidak tahu diri, maka Icha pun membiarkan saja.

***

"Kita kapan honeymoon lagi sih, Cha?"

Icha yang sedang membaca buku-buku novel koleksinya itu menatap ke bawah, dimana Aby sedang rebahan. Paha Icha yang menjadi tumpuan. Icha akan meminta Aby mengerjakan soal. Dan soal itu tidak ada yang benar sama sekali. Aby dapat telor banyak dari Icha.

"Kan baru minggu lalu, Mas."

Lambat laun, Aby terbiasa dengan panggilan itu. Begitu juga dengan Icha yang tidak malu-malu lagi memanggil Aby dengan sebutan 'Mas' di depan Ayah dan Bunda. Jika Azzam tahu ini, Icha akan diledeki mati-matian.

"Mau lagiiiiiiii, bulan depan yuk?" ajak Aby, begitu bersemangat.

"Aku masih banyak kerjaan."

Aby cemberut. Dia memeluk perut Icha, kemudian merabanya di luar kain. "Cha..."

"Hm?"

"Kalau kita punya anak, kamu mau berapa?"

Icha memutar bola mata. Kemudian menjawab, "Satu."

"Kok dikit sih? Yang banyak dong!"

"Terus maunya kamu itu berapa, Aby?" tanya Icha balik. Dia menurunkan novelnya, berbicara dengan Aby membuat konsentrasinya buyar.

"Sepuluh," jawab Aby, tersenyum. "Biar nanti rumah kita rame. Kalau perlu, aku buatin klub buat mereka. Kamu jadi managernya, aku pelatihnya. Uuuh, mau kan? Cha, mau kan? Mau dong! Harus mau!"

"Nggak ada, itu terlalu banyak, Aby."

"Masa satu? Mana cukup lah." Mereka masih saja berdebat, menentukan berapa banyak anak yang akan mereka sepakati.

"Kalau gitu turun, sembilan deh?"

"Turun satu doang," sergah Icha, tidak terima. "Dua."

"Oke, kalau dua sepasang. Tapi kalau enggak, ya aku maunya tetap ada cowok-ceweknya."

"Ya-ya terserah."

"Semoga aja lima," doa Aby, mengangkat tangan. "Aamiin."

Icha terkekeh. Dia sendiri belum memikirkan ke arah sana. Icha masih disibukkan dengan pekerjaan di kantor. Sampai sekarang. Icha masih berpikir ia belum memberikan yang terbaik untuk kantor turunan dari keluarga Abinya itu. Icha masih terus ingin belajar mengembangkan kantor dan juga beberapa cabang bisnis kafe miliknya.

Dan jika Icha benar hamil, apakah Icha siap meninggalkan pekerjaan itu? Pekerjaan yang menemaninya selama ini?

[NUG's 5✔] Jodoh Untuk Alyssa (OPEN PRE ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang