BAGIAN 9

7.3K 728 30
                                    

Pertemuan yang tidak terduga dengan Naren minggu lalu, sedikit menggangguku. Otak dikepala memaksaku memutar kembali memori tentang laki-laki itu. Lima tahun mencoba melupakan dia dari ingatanku, aku akui sedikit agak sulit. Berusaha membuka hati mati-matian untuk orang lain juga tidak segampang yang aku pikir. Sekuat itukah jejak yang dia tinggalkan untukku? Sumpah, kadang ini terlalu menyiksaku.

Moodku berantakan, beberapa gambar yang aku buat malah melenceng dari tema seharusnya. Ku putuskan meninggalkan buku sketsaku dan beranjak menyeduh kopi. Sedikit cafein mungkin saja bisa menenangkan pikiranku. Beberapa kali pesan WA dari Kenan belum aku balas. Semenjak aku putus dari Naren, laki-laki itu belum mau menyerah. Tiga tahun yang lalu dia menyatakan cintanya padaku. Tapi aku menolaknya dengan halus. Untungnya dia laki-laki yang bisa mengerti keadaan, tidak suka memaksakan kehendak. Sampai saat ini, dia tidak pernah telat mengingatkanku agar jangan lupa makan. Ada rasa tidak enak juga dengan segala kebaikannya selama ini. Tapi perasaanku padanya tidak bisa meningkat sedikit pun. Aku masih saja lebih nyaman disanding sebagai teman.

Tok! Tok!
Aku yakin itu pemilik rumah. Sudah jatuh tempo untuk pembayaran kontrak rumah bulan ini. Aku meletakkan cangkirku di meja dapur, lalu menyeret langkahku menuju pintu depan.

"Maaf Bu, saya baru sa--"

Mulutku tertahan begitu juga tanganku yang kurasakan kuat mengerat pegangan pintu.
Dia yang berada di depanku, tersenyum. Senyum yang hampir tidak pernah kulihat lagi sejak lama. Berdiri menjulang dengan tampang yang nyaris masih sama sempurnanya seperti dulu.

"Hai, Sa--, Kanya."

Ini kejutan yang tidak bagus sama sekali. Dari mana Naren tahu alamatku?

"Boleh aku masuk?"

Aku belum menjawab apa-apa saat kakiku kurasakan melangkah mundur dan menguak pintu semakin lebar memberinya jalan.

"Ka-kamu..., kenapa bisa ada di sini?"

"Itu, ya tentu saja aku tau sendiri."

Aku mengernyit. Jangan bilang dia mengikutiku.

"Seperti yang kamu pikirkan." Dia nyengir lebar.

Ternyata, dia sama, sekali belum berubah. Meskipun penampilannya sekarang berbeda, tapi aku yakin sifatnya masih sama saja.
Naren datang mengenakan kesejahteraan slim flit yang lengannya dia gulung sampai ke siku. Celana jins pendek selutut dan topi. Sneaker warna putih yang... Astaga! Itu sneaker pemberianku dulu.

"Duduk aja, aku buatkan minum."

Tidak mungkin juga aku mengusirnya. Aku segara ngacir ke dapur. Naren tidak menyukai kopi, minum teh pun takaran gulanya harus sesuai. Tapi yang aku punya hanya persediaan teh dan kopi instan.

Akhirnya aku membawa secangkir teh hangat ke depan. Meletakkannya di depan meja tamu.

"Boleh aku minum?"

"Itu dibuat untuk diminum."

"Kamu belum mempersilahkan tadi."

"Oke, Silahkan."

Aku memasang wajah sedatar mungkin. Kendati agak sedikit gugup. Kenapa sih aku harus segugup ini berhadapan dengan Naren? Padahal dulu tidak.

"Kamu masih ingat takaran gulanya? Manisnya pas, sama seperti yang dulu kamu buat."

Harusnya aku tadi bikin kesalahan saja. Membuat tehnya terlalu manis mungkin, jadi aku tidak perlu merasakan ada kupu-kupu terbang di dalam perutku.

"Kamu apa kabar?" tanyaku mengalihkan dan menghalau rasa gugup yang masih saja dengan kuat aku sembunyikan.

"Aku tidak pernah lebih baik seperti hari ini. Bisa minum teh buatanmu lagi adalah hal baikku di hari ini."

Prince Charming Vs Gula Jawa ( TAMAT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang