BAGIAN 13

6.5K 610 16
                                    


Kenan langsung saja berlalu ke belakang begitu aku membuka pintu, membuat Naren melengos. Aku bisa menebak wajah geram setengah mati yang Naren coba tahan. Aku tidak peduli sih. Aku hendak menyusul Kenan ke belakang saat Naren bersuara.

"Apa dia seperti itu kalo ke sini?"

"Maksudmu? Kenan?"

"Ya, dia bertingkah seolah dia tuan rumahnya saja."

"Nggak usah dipermasalahkan itu udah biasa. Dia cuma mau mengambil peralatan pendakian."

"Kamu mau mendaki?"

"Bukan aku, Kenan."

"Kanya! Semuanya masih oke kan?!" teriak Kenan dari arah dalam.

"Sepertinya aku harus ke sana."

"Aku ikut."

Naren mengekor di belakangku. Dia sudah seperti pengawal saja. Padahal ini rumahku sendiri. Dan orang yang dia khawatirkan hanya Kenan. Selama dia tidak ada, Kenan telah menjadi teman yang baik buatku.

Aku baru akan melihatnya ke kamar tamu saat Kenan sudah menyeret sebuah ransel gunung kebanggaanku. Sudah hampir satu tahun aku tidak ikut rombongan mendaki. Alasannya tentu saja karena pekerjaan. Nyaris semua pekerjaan yang aku tangani memintaku agar bekerja lebih cepat. Syukur-syukur Tata masih ingat memberiku libur di hari sabtu-minggu. Kalau tidak, aku akan terpenjara dalam studionya setiap hari.

"Aku tau kamu nggak akan ikut pendakian lagi. Jadi aku nggak perlu repot membawa peralatan pendakiku. Semua masih oke 'kan?" tanya Kenan lagi.

"Semua benda-benda yang aku sayangi akan selalu oke. Kamu nggak perlu meragukan itu."

"Aku tau itu."

"Jadi kapan lo mau mendaki?" itu Naren yang bertanya. Dari tadi dia hanya melihat bagaimana Kenan menata ulang kembali barang-barang yang dia pinjam dariku.

"Lusa. Kenapa? Lo tertarik ikutan?"

"Gue bukan orang gunung. Jadi ya, maaf saja."

"Beda lagi kalo Kanya ikut. Lo pasti akan mendadak berubah jadi orang gunung."

Naren mendengus. Dia terlihat tidak menyukai apa yang Kenan katakan. Setelah beres dengan semuanya,  Kenan membawa ransel itu ke pundaknya untuk digendong.

"Kanya, aku pergi dulu ya. Masih ada keperluan lain yang harus aku beli. Tadinya aku mau ngajak kamu. Berhubung sekarang kamu ada tamu ya terpaksa aku pergi sendiri."

"Kamu yakin nggak mau aku temeni?" tanyaku membuat Naren di sampingku berdecak.

"Dia sudah dewasa Kanya. Timbang gitu doang masa minta temen."

Kenan tertawa, apa ada yang lucu dari ucapan Naren tadi?

"Lo masih sama aja kaya dulu. Posesif, padahal lo bukan siapa-siapa Kanya lagi."

Aku melirik Naren sekilas. Dia mengarahkan tatapan membunuh ke wajah Kenan yang masih saja tetap santai. Entah sejak kapan Kenan punya hobi memancing emosi orang. Dulu yang sering melakukan itu Ramon. Anak itu suka mencari perkara dengan Naren. Ah, mengingat Ramon aku jadi teringat Alisya.

"Ya udah aku cabut yah."
Kenan melangkah keluar rumah diikuti aku dan Naren. Aku sangat iri saat Kenan menyimpan ransel pendakian itu di tempat duduk bagian belakang mobilnya. Iri sekali,  karena sebenarnya aku sangat rindu mendaki.
Kenan memundurkan mobil lantas mulai berbelok meninggalkan latar rumah kontrakanku.
Kini yang ada hanya aku dan Naren. Mendadak suasana hening. Naren memutar badan ke arah ku, menatapku lurus. Hari menjelang senja. Semburat cahaya jingga menerpa wajahnya, semilir angin berhembus mengibarkan helaian rambutnya yang hitam. Melihatnya di hadapanku sekarang seperti oase di musim kemarau panjang.

Prince Charming Vs Gula Jawa ( TAMAT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang