15. Lukisan Miliknya

68 12 0
                                    

"Jadi seperti itu? Mamamu tidak setuju jika kau menekuni bakatmu dalam bermake-up? Dan memaksamu untuk menjadi penari seperti dirinya?" tanya Orion untuk memperjelas semua yang habis dia dengar.

Kyra mengangguk sambil menghela napas. Ia merasa agak lega bercerita dengan lelaki itu. Entah mengapa dia merasa percaya pada Orion. Ia kemudian menyalakan televisi untuk meminimalisir kecanggungan karena Orion terlihat diam berpikir.

"Jadi itu alasanmu menangis tadi. Kau sungguh seperti boneka Annabelle yang menangis," ledek lelaki itu dengan muka jenaka seraya menyandarkan tubuhnya di punggung sofa.

"Menyebalkan!"

Dia kemudian mengambil paper bag kokoh yang ukurannya besar di sofa yang kosong. Perempuan itu membukanya kemudian mengambil kursi kecil berniat memasangkannya ke tembok namun Orion meledeknya dan mengganggu perempuan itu hingga dia tidak konsen dalam memaku tembok tersebut.

"Bisakah kau diam?" tanya Kyra dengan kesal.

Lelaki itu menggeleng kemudian merebut paku dan palu yang ada di tangan perempuan itu. Memaku dengan mudah tembok yang sedari tadi hendak dipaku oleh Kyra. Kemudian Orion mengambil lukisan tersebut dan menggantungnya di sana. Dia tersenyum puas seraya meledek Kyra yang lebih pendek darinya. Posisi mereka sekarang sangat dekat dan lelaki itu memutuskan untuk duduk kembali di sofa.

"Kau membelinya di mana?"

"Acara pelelangan tadi. Bagus kan?"

Orion memandangi lukisan milik perempuan yang sekarang duduk di sebelahnya itu. Sebuah lukisan api dengan siluet seorang perempuan di sana. Perpaduan antara warna merah dan hitam begitu pas. Begitu dia menyentuh lukisan tadi dia langsung tahu bahwa itu terbuat dari cat akrilik. Background rumah dengan api berkobar tersebut sungguh membuat Orion berdecak kagum betapa berbakatnya si pelukis.

"Bagaimana bisa kau mendapatkan lukisan semenarik ini? Misterius dan tidak bosan untuk dilihat." Mata cokelatnya masih dengan setia memandangi lukisan tersebut. Tepat di siluet perempuan berambut dikucir dua.

"Tentu saja, apa yang tidak aku bisa?" ucap perempuan itu dengan nada bangga.

"Menari mungkin?" Orion mengendurkan bahu dan beralih menatap televisi yang menampilkan acara sinetron.

Kyra memutar bola matanya malas. "Jangan bahas hal itu. Aku membencinya."

"Bagaimana si Narendra itu?" Orion mencoba mencari topik pembicaraan agar tidak terjadi adu mulut lagi antara dirinya dan perempuan tersebut.

"Dia menghilang. Tadi di lift aku sempat melihatnya sebelum semuanya menggelap. Dia tersenyum, entahlah sepertinya senyum perpisahan." Dia mencoba mengingat senyum yang diberikan Narendra tadi. Seolah-olah berkata bahwa dia akan pergi.

Dia benci itu. Kyra benci dengan senyuman Narendra yang seperti itu. Bagaimana jika memang Narendra pergi? Apakah artinya Kyra tidak memiliki tempat bercerita tentang masa lalu kelamnya? Artinya dia tidak bisa bercerita tentang keresahan yang dia miliki?

Orion tersenyum kemudian menepuk-nepuk kepala perempuan itu. "Dia teman khayalanmu. Kau sudah tahu kan apa yang Bibi Marry katakan padamu sebelum kita pulang dari rumahnya?"

Tenggorokannya lagi-lagi terasa kering. Dia seperti tercekik jika mengingat tentang sebuah fakta baru. Fakta tentang dirinya sendiri.

"Iya aku tahu. Terima kasih sudah mengajakku ke sana. Aku jadi tahu tentang diriku sendiri," ujar Kyra tulus walau sebenarnya dia masih tidak percaya dirinya mengidap penyakit mental.

"Baik-baik yaa. Obatnya jangan lupa diminum. Aku mau kembali ke apartemenku untuk mengerjakan tugas. Jika butuh bantuan kau bisa mengetuk pintu apartemenku." Orion berdiri dan mengedipkan sebelah matanya.

Penghuni Unit 63Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang