Ayla melepas paksa selang infusnya. Setelah semalaman tak bisa tidur, pagi ini, ia berencana untuk segera pergi dari rumah sakit sebelum Nata datang menjemputnya. Lagipula, kondisinya tak seburuk itu hingga ia harus berlama-lama terbaring seperti orang tak berdaya di sana.
Ia turun ranjang dengan tergesa, seolah lupa bahwa luka di kakinya belum sepenuhnya mengering. Karena tak hati-hati, gadis itu sedikit meringis. Tak lama setelah itu, ia menangkap samar bayangannya di jendela. Seketika ia panik lantaran menyadari bahwa ia masih tengah mengenakan baju pasien.
Netranya pun menatap ke sekeliling. Ia harus segera menemukan pakaiannya sebelum matahari menertawakan kepanikannya pagi ini. Dengan hati-hati, ia hendak mengambil posisi jongkok. Ia bermaksud untuk memeriksa kolong brankar pasien, barangkali pakaiannya ada di sana.
Tapi nihil. Ayla pun mendesah kecewa. Ia tidak mungkin kabur dengan memakai baju pasien. Sepertinya ia menyerah. Masih dengan posisi jongkok, Ayla pun menempelkan dahinya pada tepi ranjang seraya merutuk dalam hati. Lagipula ia tak bawa sepeserpun uang. Tas selempangnya pun entah kemana. Terakhir kali ia ingat masih memakainya sepulang dari kafe. Setelah itu, ia sudah tidak tahu lagi. Anggap saja ia amnesia. Ia sungguh tidak ingin mengingat apapun terkait kejadian semalam.
"Lo ngapain?"
Ayla sontak mendesah pelan. Terlambat pikirnya. Suara lelaki yang ingin ia hindari itu bahkan sudah menyapa telinganya. Dengan gerakan malas, ia pun menjauhkan dahinya dari tepi ranjang. Untuk sesaat, ia tampak mengernyit. Tidak ada siapapun di sana. Padahal ia jelas mendengar suara lelaki itu beberapa saat yang lalu. Sampai kemudian ia berbalik dan memutar tubuhnya dengan masih dalam posisi jongkok.
Nyaris saja kepala bagian belakangnya terbentur sisi ranjang. Siapa yang tak terkejut jika secara tiba-tiba dihadapkan dengan sepasang kaki panjang yang berdiri nyaris tanpa jarak? Cukup beruntung karena Nata sigap membiarkan tangannya sebagai tumpuan, membantu menahan kepala Ayla sebelum mengenai ranjang. Sebelah tangannya bahkan tanpa ragu menahan punggungnya. Yang lebih memalukan adalah ketika ia menyadari bahwa kedua tangannya kini tampak meremas kuat kerah kaus yang tengah dipakai Nata. Percayalah, itu hanya semacam gerakan spontan demi menyelamatkan diri yang hampir terjengkang ke belakang.
Dengan segera, ia pun membenarkan posisi duduknya dan mendorong pelan tubuh Nata yang hampir terlihat seperti hendak memeluknya.
"Ngagetin banget," gumamnya seraya menggerutu.
"Lagian ngapain sih?" balas Nata seraya menaruh paper bag dengan ukuran yang sedikit besar pada sofa. Ayla tak menjawab. Gadis yang kini terlihat memeluk kedua kakinya itu memasang raut malas yang melas. Terdengar mendengkus seraya menumpukan dagunya pada bagian lututnya yang tak terluka.
"Kemaren baju lo basah." Nata membuka suara. Lelaki yang duduk bersandar pada sofa itu menatap gadis yang tampak memalingkan wajah. "Jadi lo pake aja dulu punya gue," ucapnya sembari menyodorkan paper bag yang tadi ia bawa.
Ayla tampak melirik. Paper bag tersebut ia raih dengan sedikit enggan. Setelah melihat isinya, gadis itu lantas kembali mendengkus. Diliriknya jam dinding, ini bahkan belum sampai pukul enam. Bagaimana bisa lelaki itu sudah berada di sana? Bahkan Matahari saja seperti kalah cepat dengannya.
Lagi, ia mendengkus. "Punya gue kemana?"
"Ada." Nata menjawab singkat.
"Tas gue? Ponsel gue?" cecar Ayla yang lantas membuat Nata menggaruk ujung hidungnya yang tak gatal.
"Gue bilang ada." Nata membalas santai. "Udah gue taro semuanya di mobil. Lo tinggal siap-siap aja." Lelaki itu lantas tampak merogoh sesuatu dari saku celana pendek selututnya. Dikeluarkannya benda pipih itu sebelum kemudian memberikannya pada Ayla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stolen Before Fallen
RomanceAyla, tanpa sengaja harus terlibat dalam hubungan yang rumit dengan Nata, seorang siswa pindahan yang seringkali terjebak dalam situasi yang kian membuatnya penasaran. Tetapi siapa sangka jika rasa penasaran yang ia miliki justru berubah menjadi ras...