- 20 -

320 43 142
                                    

Seorang wanita paruh baya menghembuskan asap rokoknya pelan. Air mukanya tampak tenang, meski hatinya tengah dongkol setengah mati pada pria tua yang kini tampak terduduk di lantai seraya menunduk takut.

"Kamu mau mati?" tanyanya enteng. Bahkan terlampau datar untuk dikatakan sebagai sebuah ancaman.

"T-tidak, Bu!"

Sekali lagi, wanita itu menghisap puntung rokoknya hikmat. "Terus kenapa kamu berulah, Hendro?"

Pria yang dipanggil Hendro itu lantas meneguk salivanya pelan. "Maaf, Bu. Saya cuma ... kebawa emosi. Saya cuma nggak tahan liat keponakan saya hidup enak."

Wanita itu lantas mengangguk dua kali. Dilihatnya lagi potret kebersamaan sepasang remaja yang rupanya memang cukup sering tertangkap kamera dalam beberapa lembar foto yang ia jejer di atas meja kecil di dekatnya.

"Jadi dia keponakan kamu?"

Hendro mengangguk.

"Siapa tadi kamu bilang? Ayla?"

Setelah kembali memberinya anggukan, Hendro menjawab, "Betul, Bu."

Sekilas, wanita itu tampak mengernyit. Gadis itu memang tampak tak asing baginya. Jika diingat kembali, ia pun sempat mendapati keduanya bersama malam itu. Malam dimana ia sama sekali tak mengira jika putra Danu akan selihai itu dalam berkendara, bahkan di saat ia sedang melintasi jalanan yang licin akibat guyuran hujan.

Setelah mengamati setiap lembaran foto yang ia terima, rasa-rasanya ia baru saja menyadari sesuatu.

"Kamu tau hubungan Ayla dengan keponakan saya?"

Hendro menggeleng. "Saya cuma tau, keponakan ibu itu selalu saja muncul setiap kali saya berusaha untuk kasih pelajaran ke keponakan saya. Keponakan ibu juga yang buat saya babak belur dan hampir ketangkep."

"Ya kalo itu sih karena kamu bodoh, Hendro!" Ratih lantas menghela napas. "Saya kan cuma minta kamu buat awasin keponakan saya, bukan malah cari masalah sama keponakan kamu!"

"M-maaf, Bu. Saya bener-bener nggak tahan."

"Nggak tahan liat keponakan kamu hidup enak, apa nggak tahan karena dia bikin kamu kerangsang?" cecar Ratih yang sontak membuat Hendro mendongak gelagapan dengan peluh yang mengucur di sekitaran pelipis.

"Bu-bukan gitu, Bu! Saya beneran cuma kesel karena dia hidup tenang tanpa sedikitpun mikirin hidup saya."

Sekali lagi, Ratih membuang napasnya kasar. Wanita itu tak peduli, sungguh. Jawaban Hendro sama sekali tak dapat ia terima sebagai alasan. Jika saja malam itu Hendro benar-benar tertangkap, maka tak menutup kemungkinan si bodoh Hendro itu pun akan menyeretnya.

Kemungkinan terburuk, baik Danu maupun putranya pun perlahan akan mulai menyadari keberadaannya. Sudah jelas ia tak menginginkan hal tersebut terjadi, sebelum suami dan putra saudarinya itu ikut hancur. Akan lebih baik lagi jika keduanya segera menyusul Ratna yang mungkin sebentar lagi juga akan menyatu dengan tanah.

"Mulai hari ini saya sudah nggak bisa memperkerjakan kamu lagi," putus Ratih setelah cukup lama tenggelam dalam pikirnya.

Hendro refleks mendongak. Rautnya semakin pucat. Ia sungguh tidak mengira jika ia harus semudah itu kehilangan harapan untuk membayar lunas hutangnya. Terlebih, mencari pekerjaan mudah dengan bayaran yang cukup besar pun merupakan kesempatan langka yang tak mudah untuk seseorang sepertinya dapatkan.

"Bu, tolong, kasih saya satu kesempatan lagi. Saya janji, saya nggak bakal bikin ulah. Saya bener-bener butuh pekerjaan ini buat bantu lunasin hutang saya, Bu. Saya mohon, Bu," pinta Hendro setengah bersujud.

Stolen Before FallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang