17. Kenapa?

210 40 4
                                    

Hari senin. Hari yang paling tidak disukai oleh SMA Hingh School 2. Karena selain mereka harus panas-panasan di tengah lapanga,  mereka juga harus mendengarkan pidato Pak Rahmat kepala sekolah mereka yang membuat kupingnya ingin terbakar akibat panjang lebarnya pidato yang disampaikan.

Audrey dan Ferisha tengah bercanda gurau di kelasnya kini.

"Gimana sama bukti-bukti yang kemarin?," Tanya Ferisha seraya minum pop ice rasa taro miliknya.

Audrey menggeleng sebagai jawaban.

"Gue gak tau. bingung mau milih siapa."

Samuel yang sebangku dengan Ferisha lalu mendengarnya hanya memandang sepupunya itu malas.

"Masih ragu sama bukti-bukti yang kemarin?," Timbrung Samuel seraya melanjutkan main game di ponselnya.

Ferisha beralih menatap ke arah Samuel. "Gak gitu juga, lah. Kita nggak boleh memaksakan kehendak orang lain!" Nasihat Ferisha yang didengar oleh Samuel.

Samuel menyudahi bermain game di ponselnya itu dan meletakannya di atas meja.

"Nih, ya. Dengerin. Gue tau kok, Drey. Gue cuma mau nasehatin lo biar gak kelamaan mikirnya. Di tinggal pergi sama Ravael baru tau rasa! terus penyesalan seumur hidup gara-gara baru nyadar waktu dia pergi," cerocos Samuel.

"Pergi? Emangnya dia mau pergi?," tanya Audrey sedikit aneh.

"Maksud gue---dalam artian dia udah nyerah gara-gara perjuangannya gak dihargai. Pas dia pergi terus lo baru nyadar. NYESEL LO SEUMUR HIDUP," teriak Samuel heboh yang dibungkam mulutnya secepat kilat oleh Ferisha.

"Asin tangan lo, anjir!"

Audrey, Ferisha, dan Samuel yang tadinya sedang bercengkrama kini mereka hanya diam membisu. Sebab, tepat di ambang pintu terlihat Chatrine di sana, yang memandang mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.

Ferisha dan Samuel yang mengerti keadaan memasang kode-kode lewat tatapan mata ke Audrey.

Audrey? Jangan tanyakan raut wajahnya saat ini. Ia bingung. Di satu sisi, ia mau persahabatannya utuh kembali tanpa kekurangan orang. Namun di satu sisi, ia merasa sesak jika mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Itu sungguh membuat hatinya merasa tercubit. Sepandai-pandainya orang menyembunyikan masalahnya akan ada waktu yang menjawab. Yang di mana orang itu akan benar-benar lelah dalam keadaan dan butuh seseorang berada di sisinya untuk dijadikan sandaran. Audrey berada di posisi itu saat ini. Ia tak tahu apa yang ia rasakan. Apakah ia sudah jatuh hati terlalu dalam kepada Ravael? Hingga berkali-kali menangisinya? Atau hanya masalah harga diri yang merasa direndahkan bagi seorang perempuan? Sudah cukup masalah penyakit yang bertahun-tahun ia hadapi. Namun, ia sadar bahwa seiringnya usia makin banyak masalah yang masuk di hidupnya kini. Dan ia harus menyelesaikan masalah itu satu-persatu tanpa mengenal kata menyerah. Karena, masalah yang muncul di hidupnya pun salahnya sendiri.

Chatrine mulai melangkah ke dalam kelas. Audrey sama sekali tak beralih ke mana pun bola matanya selain melihat seorang Chatrine begitu juga dengan Samuel dan Ferisha.

Chatrine yang ditatap seperti itu hanya bisa tersenyum tipis. Tipis sekali, bahkan tak ada orang yang menyadari bahwa ia sedang tersenyum kala itu, selain dirinya dan Tuhan.

Chatrine yang biasanya duduk sebangku dengan Audrey kini ia malah duduk di barisan pojok paling belakang lalu menelungkupkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangan menjadi tumpuannya.

"Chatrine kenapa?," Tanya Ferisha pelan takut Chatrine dengar.

Audrey menggeleng lemah. "Lo udah bilang ke Chatrine amanah gue yang kemarin?," Tanya Audrey kepada Ferisha dan Samuel. Keduanya menggeleng yang membuat Audrey geram.

Without You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang