18. Pertengkaran Sengit

285 42 3
                                    

Ravael memarkirkan mobilnya itu di halaman rumahnya. Entah mengapa, kini ia merasa moodnya lebih baik dari hari yang kemarin karena ia yakin masalah bersama Audrey akan secepatnya berakhir lalu mereka kembali bersama seperti waktu dulu.

Ia meraih knop pintu rumahnya dan membukanya. Di ruang tamu, sudah jelas ada Bundanya yang sedang---

Gila!

Apa yang dilakukan Rivael, kembarannya itu kepada Bundanya? Rivael sedang tiduran dengan paha Bundanya sebagai bantalnya. Pemuda itu tiduran di paha Bundanya dengan Bundanya mengelus dengan sayang puncak kepalanya. Mendadak Ravael geli sendiri melihatnya. Umur sudah tua masih saja manja dengan orang tua.

"Bun! Rava pulang!!" Serunya dan mendaratkan bokongnya di sofa panjang---di samping Bundanya. Dengan sengaja ia menghempaskan bokongnya dan menindih kaki Rivael yang kebetulan sedang selonjoran di situ.

Rivael yang merasa kakinya ada yang menghantam ia memekik sakit. Buru buru ia ambil posisi duduk, namun, tetap saja kaki itu masih berada tepat di bawah bokong seorang Ravael.

Tiba-tiba ide jahil terlintas dibenaknya. Dengan cekatan, Rivael mengangkat kakinya yang hal hasil Ravael yang menindihkan kakinya itu terjungkal ke depan dengan posisi bokong yang mendarat di lantai. sungguh mengenaskan.

Eva---Bundanya hanya bisa tertawa kecil melihat anak bungsu itu terjungkal ke lantai akibat keisengan kembarannya.

"Kampret lo, Riv!" Maki Ravael seraya bangun dari posisi yang mengenaskan itu. Rivael hanya tertawa jahat tanpa dosa.

Ponsel Rivael berdering dengan nada salah satu lagu milik Black Pink yang berjudul "let's kill this love." Ravael yang mendengar itu saling bertatap dengan Eva lalu tertawa kencang disusul oleh Bundanya. Meledek sekali, pikir Rivael.

Rivael sedikit menjauh dari Bundanya dan juga kembarannya itu yang notebenenya sebagai adiknya.

Ia melihat dengan pandangan sinis setelah mengetahui siapa yang menelponnya. Niatnya ia memilih untuk tidak mengangkatnya, namun dipikir pikir tak salahnya juga ia mendengarkan apa yang ingin sang empu katakan.

Ia memencet tombol warna hijau dan mendekatkan ponsel berdigit Apple itu ke daun telinganya.

"Kenapa? Kalo lo minta bantuan gue lagi dengan tujuan yang sama seperti kemarin, sori, gue gak bisa. Gue rasa juga udah cukup untuk mewakili balas budi lo di masa lalu. Jadi gue pikir-pikir kita impas," ucap Rivael dengan emosi yang tertahan. Ia cukup muak dengan Marcell yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya sendiri meskipun umurnya terpaut 2 tahun lebih tua darinya.

"Oke! Kali ini gue gak maksa lo untuk bantu gue dalam masalah ini. Tapi, jangan harap orang yang kembaran lo sayang dan cintai itu bakalan hidup bahagia dan tenang seperti sebelum sebelumnya. Gue bakalan urus ini sendiri," ancam Marcell dari sebrang sana. Setelahnya, telepon itu dimatikan langsung oleh sang empu.

Rivael yang diperlakukan seperti itu agak kesal sedikit. Di satu sisi ia ingin membantu sahabatnya itu namun di sisi lain ia tak mau lebih banyak orang yang tersakiti akibat ulahnya. Cukup sudah ia kehilangan kekasihnya itu.

"Lo gak perlu khawatir," ujar Ravael dari belakang. Ravael berjalan ke arah kembarannya itu dan memberikan satu kaleng soda yang langsung diterima dan diminum oleh sang empu.

"Gimana gak khawatir coba?!! Efeknya berdampak besar bagi kita semua!" Jujur Rivael pusing.

Ravael menghela napas. "Cukup pengorbanan lo untuk gue. Sekarang giliran gue yang berjuang," balas Ravael mantap.

"Gue bakalan tetep pantau lo," final Rivael yang sepertinya sedikit menyetujui ucapan kembarannya itu. Bagaimanapun nantinya ia akan siap menjadi tameg adiknya itu untuk berlindung di dirinya.

Without You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang