3 - The Hurt Locker

397 74 73
                                    

     APAKAH kamu ingin tahu sesuatu yang lebih buruk dari kematian seseorang?

Keheningan yang ditinggalkan oleh seseorang tersebut.

Ya, bukan tangisan atau teriakkan histeris atau penyebab kematiannya. Retorsi keluarga terkasih memang menyakitkan, tetapi jika kamu jadi diriku, kamu pasti memahami kenapa keheningan jauh lebih buruk daripada apa yang telah aku sebutkan di atas—terlebih jika yang meninggalkan tanpa indikasi apa pun adalah kakak kandungmu sendiri.

Kamu mengerti rasanya ketika dada menyempit sesak, jemari invisibel sedingin helium cair melapisi jantung, lalu meremasnya hingga vibrasi terhenti dan yang tersisa hanyalah serangkaian doa paradoksal agar kamu bertahan satu sekon lagi?

Percaya atau tidak, itulah yang aku rasakan. Aku tidak menangis saat prosesi pemakaman, bahkan aku mengingat kepingan konversasi dari teman-teman kampus yang berbisik hina tentangku.

"Lihat, deh, padahal Esme 'kan kakaknya, tapi dia tidak menangis sama sekali."

"Biarkan saja, memang dasarnya tak punya perasaan."

"Kurasa persahabatannya dengan Imogen mengubahnya menjadi seperti ini."

Tidak seperti Imogen yang nyaris naik pitam dan menampar mereka satu-satu, aku tetap diam. Bahkan tidak bereaksi kendati sudah merasakan tangan Jimin menutupi kedua telingaku seolah ingin menyisihkanku dari agoni lainnya.

Tetapi, ketika waktunya tiba aku harus berhadapan dengan jenazah Esme untuk penghormatan terakhir, setangkai bunga lili dalam genggaman tergelincir lepas, nyaliku menyusut dan segera menghalakan tungkai, memacu diri untuk berlari mengabaikan keseluruhan prosesi pemakaman.

Dan saat itulah aku tiba di rumah.

Atmosfer terasa sangat berbeda, terlalu sunyi untuk seleraku. Satu-satunya kebisingan yang aku dengar berasal dari benakku sendiri, mencetuskan bahwa Esme ada di kamarnya, bahwa ini semua hanyalah lelucon sinting.

Jadi, aku bergegas dengan marah ke kamarnya, aku melihat pintu tertutup rapat, terkunci, dan aku tidak tahu di mana Mama menyembunyikan kuncinya, tetapi pikiranku hanya menyuruhku untuk menggedor pintu.

"Esme!" teriakku dengan suara serak dan kerongkongan sakit bukan main. "Buka pintunya, ini tidak lucu!"

Tidak ada tanggapan.

Aku membenci ini, kepalan tanganku bergetar, permukaan epidermis yang bersinggungan dengan kayu solid berwarna putih memerah perih, penglihatanku mengabur. "Kamu dengar aku, 'kan? Buka! Kumohon... katakan padaku mereka hanya mengubur peti mati kosong, katakan pada mereka kamu masih hidup. Kumohon, katakan padaku—! Katakan ini semua tidak nyata!"

Namun, tidak peduli seberapa keras aku menggedor pintu, aku menangis, aku berteriak, mengucapkan permohonan maaf berulang-ulang, hanya ada kesunyian sebagai jawabannya.

Saat itulah seluruh tubuhku membeku, persendian tersendat, paru-paru gagal mengembang dan darah berhenti mengalir, aku tersungkur jatuh ke lantai, kening melekat pada permukaan pintu. Tanpa permisi, air mata menetes eksesif dan menodai pipi, jeritan laraku lebih keras daripada angin yang menderu lisplang di luar.

Aku mengabaikan presensi-presensi yang mengepung segala sisi, membisikkan kalimat aforisme demi menenangkanku, mengamuk dahsyat tatkala seseorang membawa paksa diriku pergi dari kamar Esme.

Karena semakin menjauh dari sana dengan kedua tangan yang meronta-ronta putus asa untuk mencapai kenop pintu, semakin aku dipaksa untuk menyaksikan keheningan absolut itu membakar semua memoar kami, dan mengabulkan ketakutan terburukku yang sebenarnya.

Aku benci keheningan, benci sendirian, karena itulah yang ditinggalkan Esme, di rumah yang tak pernah kuduga akan menerima antipatiku.

"Em?"

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang