4 - Forlorn Digression

390 68 75
                                    

     SUDAH sewajarnya argumen memprovokasi sebuah hubungan, bukan? Aku dan Jimin pun tidak luput dari itu. Kendati malam ini adalah yang pertama kali Jimin benar-benar menagih eksplanasi perihal asumsi adiksi, aku tidak menyalahkannya untuk itu—Jimin sudah terlalu sabar menghadapi gadis sepertiku. Tetapi, mengapa aku berekspetasi hal lain? Setelah tidak sengaja membaca pesan dari Papa, tentu saja, Jimin akan langsung mengalah, enggan mengungkit masalah Seroplex dan lebih memilih untuk menenangkanku.

Hingga akhirnya, kami tidur saling bersisian di kamarnya, walaupun di awal, aku sempat bersikukuh menolak karena bagaimana pun masih ada dismilaritas kultur di antara kami, dan aku tidak ingin melangkahi batas—mencaring margin invisibel yang sudah diciptakan oleh Nyonya Park. Sejujurnya, itu hanya prakarsaku saja, Nyonya atau Tuan Park tidak kelewat mengekang anak-anaknya untuk melakukan sesuatu, mereka menaruh kepercayaan yang berlebihan kepada ketiga buah hatinya sehingga melanggar adalah tabu.

Sedangkan orangtuaku? Ah, mereka juga sama. Setidaknya, sebelum kehilangan Esme. Sudah terlihat jelas, kini bisnis minyak, gas alam, dan petrokimia milik mereka dapat menyisihkan statusku sebagai buah hati kapan saja. Dengan nilai perusahaan periode setahun lalu nyaris mencapai triliun dolar, Gray Aceite akan selalu menjadi sainganku perihal memikat atensi Mama dan Papa. Kurasa sekarang, satu-satunya kredo yang mereka punya kepadaku hanyalah perkara nilai akademik dalam edukasi.

Melihatku yang terus melamun, Jimin menghela napas, memegang dan mendorong pelan bahuku agar ikut berbaring. "Ibu tidak akan marah. Asalkan kamu tidak bangun dengan perut membesar, kita baik-baik saja."

"Awas, ya," Aku menggerutu kesal, mengambil posisi tidur menyamping dengan lengan kiriku sebagai bantalan, yang artinya memberi akses untuk Jimin hanya memandangi punggungku. "Kalau besok aku diusir, akan kubuat jarimu tambah pendek."

Bibir plump-nya dipastikan mengerucut sempurna, memprotes perkataanku, tetapi kemudian, aku merasakan tangannya melingkar di pinggang dan mengikis jarak antara aku dan dia. "Hei, jangan libatkan fisik, dong. Meski pendek begini, aku masih semenarik Sebastian Stan, kok."

"Duh, mendadak telingaku tuli."

Jimin tergelak, tawanya mengirimkan vibrasi ke seluruh tubuh mengingat punggungku terletak posterior terhadap dadanya. Defile napas yang memburu stabil menusuk epidermisku kala ia menimpali, "Jadi, aku tidak boleh semenarik idolamu?"

"Kamu itu sudah sangat menarik," kataku. "Jangan minta tambah seperti Sebastian lagi, nanti sainganku semakin banyak."

"Lho, bukannya tadi—"

Aku segera membalik badan dan membekap mulutnya, menengadah sedikit untuk menatapi sepasang netranya menyipit, menandakan dia sedang tersenyum jahil di balik tanganku. "Kalau kamu melanjutkan kalimatmu, aku akan ambil kesimpulan kamu memang ingin mencari gadis lain."

Jimin tertawa, melepaskan tanganku sebelum menautkan keduanya. Seulas senyum masih tertera, tetapi bukan lengkungan jahil, hanya ada afeksi dan ketulusan di sana. Keheningan singkat meringkus atmosfir, pupil deragem menjalar ke setiap jengkal parasku seolah sedang meneliti.

Ditatap seperti ini, tentu, masih memacu degupan jantung, fluktuasi yang menggila dalam setiap sekon. Aku lupa kalau tatapan Jimin kapabel untuk melemahkan organ tubuh, terlalu intens namun penuh kekaguman dan kehangatan, berhasil membawa kembali sentimen sukacita dari seorang anak dara yang sedang kasmaran untuk pertama kalinya.

Kuanggap Jimin yang segera melemparkan satu kecupan pada keningku adalah siasatnya meredam kecanggungan, berujar setengah berbisik, "Untuk apa aku mencari gadis lain setelah susah payah mendapatkanmu, Nona?"

Rona merah membidas pipi tanpa permisi, aku bungkam dan refleks menyelundupkan wajah lebih jauh ke dada bidangnya. "Ah, sudah, tidurlah. Aku malu kalau kamu bicara seperti itu."

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang