10 - Frenemies

288 54 153
                                    

     BAGAIMANA alam semesta sanggup menyerupai harmoni prestisius ketika satu per satu kenyataan mulai retak selayaknya diriku tergelincir di bawah pergeseran represi? Iluminasi matahari membelah sela minor di antara kapas putih kolosal milik antariksa, temperatur kemarau terik menggempur udara tanpa pamrih seolah menggemakan vakansi musim panas yang mulai bermunculan.

Aku benci bagaimana secara konstan aku berhasil memperhatikan betapa semburat sukacita menjamah raut hampir semua orang, itu seperti prevalensi. Dan tidak serupa individu lainnya, agenda untuk menghabiskan liburan tidak terlintas dalam benakku.

Setidaknya, belum.

Mungkin Imogen telah merancangkan sesuatu, namun mengingat Jimin memiliki perhelatan kompetisi yang cukup mengundang atensi banyak audiens, kudengar hingga sudut Myrtle Grove dan Moss Point, aku memutuskan tidak akan ke mana pun sampai hari itu tiba.

Kendati komunitas Fairhope tergolong eksklusif, tidak jarang deklarasi spesial akan diketahui secara meluas, terlebih tentang seseorang yang menyentuh peluang sebagai kandidat pemain NFL masa depan.

Jika kalian bertanya pada diriku satu purnama lalu, apakah aku bangga dengan Jimin yang dipastikan sangat kapabel mengitari radar NFL, tentu, akan kujawab secara antusias melalui senyum sumringah dan anggukan kelewat enerjik.

Tetapi, belakangan ini, proyeksi tegas dari kekhawatiran membayangi psike, Hoseok memang baru saja melafazkan sedikit tadi malam, namun instingku bekerja seakan-akan durasi bergilir urgen bagi Jimin.

Dan kenyataannya mungkin begitu.

Dari apa yang kudengar singkat melalui Fayre dan Hoseok, asumsi bahwa Jimin merupakan bom waktu menitik benak tanpa permisi, dia sanggup meledak kapan pun, kemudian menyakiti siapa pun di sekitarnya.

Aku tidak ingin mengakui apa pun, tetapi setelah menemukan dan mendengar kaset Esme, berupaya meneliti kata per kata dalam otobiografi Jean-Dominique Bauby, mengacar definisi Sindrom Terkunci, ada keyakinan traumatis yang kian merayap tamak dalam raga.

"Emori?"

Hampir menggiring kesiap riuh keluar dari kedua belah bibir, aku segera memalingkan pandangan ke arah Pak Namjun yang menatapku dengan ekspresi elusif. "Uh, ya?"

Pak Namjun tediam sejenak, sepasang pupil hanya mengamati nyalang keseluruhan diriku sebelum mengulang, "Saya bertanya, apakah masalah kalian berdua adalah hal serius?"

Aku melirik Mary Frances di sampingku, hidungnya kini dilapisi perban tipis, menggarisbawahi ulah tanganku sendiri. Meringis dalam diam, tanganku mengepal di atas pangkuan seraya bibir bergerak pelan, "Tidak, saya hanya sedang emosi."

"Dan kamu melampiaskannya kepada orang lain?"

Aku nyaris melayangkan debat jikalau Mary Frances tidak menginterupsi kasual, "Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menyalurkan emosi, saya tidak keberatan menerima satu dari seseorang."

Sejenak kutundukkan kepala, deru ekshalasi meletup kasar kala menyaring kalimatnya. Antipati yang sebelumnya tidak memiliki konstruksi, kini sedikit demi sedikit tersusun rancu. Apa poin dari kosakatanya? Apakah Mary Frances berusaha menyelamatkan hari dengan bersikap baik? Apakah dia bermaksud menjadikanku respresentatif oponen di sini?

Jimin memang berkata bahwa Mary Frances memahamiku, tetapi dia melompati elaborasi mengenai 'memahami' itu sendiri, sebab sejauh yang kutahu, tidak ada siapa pun lagi yang mengenalku sebaik dirinya, Imogen, Taehyung, dan Kak Seokjin.

"Baiklah, lihat, kondisi hidungmu," kata Pak Namjun, menyandarkan punggung ke kursi dan memugar gusar surai argentumnya. Secara naluriah, aku mengangkat wajah dan meninjau setiap gerak-geriknya dengan buih interes. "Apakah itu sepadan dengan empati yang kamu berikan?"

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang