KOSONG.
Bias matahari pagi menyuar kepada spasi hampa di sampingku, tidak ada presensi menemani kala aku mengerjapkan mata terbuka, mengangkat kepala sedikit untuk menilik celah minim pada pintu kamar mandi, namun nihil. Tidak ada gemericik air terdengar, raksi cedar pun seakan tidak pernah membelai penghidu.
Aku menyibak selimut dan langsung terhuyung tegak, manuver serampangan yang nyaris membawaku bercumbu dengan lantai. Meringis singkat, tanganku secara naluriah bertumpu pada nakas. Terlelap pukul lima pagi, kemudian bangun pukul sembilan memang bukan opsi yang tepat. Selagi pening menjalar di kepala, menyebabkan visi terdistorsi sengit, kuhela rentetan napas frustrasi.
"Oh, Nona, sudah bangun?"
Sontak menoleh, aku menemukan asisten rumah tangga keluarga Park bernama Hime, berdiri dengan sebuah nampan yang aku asumsikan berisi sarapan. Guratan senyum hangat terpatri di bibirnya sehingga mendorongku untuk melakukan hal yang sama, lalu mengangguk sopan. "Jimin ke mana, ya?"
"Baldwin Square, Nona. Katanya ingin memperbaiki ponsel yang rusak."
"Ah, begitu." Aku menjeda, mengulum labium gundah sambil mengingat skenario tadi malam, yang mana ponselku juga menjadi korban. "Apa dia bilang pulang jam berapa?"
"Seingat saya, Tuan Muda hanya menyampaikan agar Nona sarapan dan bersiap-siap karena akan dijemput setelah urusannya selesai," katanya sembari menempatkan nampan di nakas.
Aku bergeming, sempat terbesit jawaban Jimin atas petisi konyolku semalam. Tidak perlu melibatkan rasa sakit, aku benar-benar sudah bahagia bersamamu. Namun, bagaimana aku mempercayainya ketika klausa tersebut terbebas dari bibirnya dibarengi dengan ketidakyakinan dan ketakutan partikular di matanya?
Jika Jimin memang memegang rahasianya sendiri, bukankah itu akan memperburuk segalanya? Aku tidak banyak memahami siapa dan bagaimana Jimin di masa lalu, aku hanya mengetahui kepingan restan, mengenal komponen lain dirinya. Hoseok pernah berkelakar bahwa Jimin memiliki dua kepribadian, seperti Busan dan Fairhope mencerminkan masing-masing sisi yang berbeda.
Waktu itu, Jimin tidak mengizinkanku percaya pada kata-kata Hoseok, hanya boleh percaya padanya, tetapi aku melupakan—ah, tidak. Lebih tepatnya, memilih untuk mengabaikan beberapa aspek. Jimin selalu terlihat resah, tubuhnya tegang setiap kali aku dipertemukan dengan Hoseok. Beberapa kali aku mendesak Hoseok bercerita lagi, namun keheningan ganjil justru menimpa gravitasi, dan kedua pemuda itu saling bertukar pandang.
Hanya seperti itu, konversasi langsung dialihkan. Dan Jimin kembali pada perangai tenang dan apatisnya.
"Bi," panggilku pelan, membuatnya berhenti mengambil beberapa baju kotor yang berserakan. Hime sudah bekerja lama di sini, bahkan sejak keluarga Park masih bermukim di Busan, tidak menutup kemungkinan dia mengetahui enigma yang tidak kumengerti. "Jimin... baik-baik saja, 'kan?
Kedua alisnya menukik bingung. "Maksud, Nona?"
"Aku hanya merasa dia menyembunyikan sesuatu dariku," ujarku, mengistirahatkan kepala di atas telapak tangan, mengedikkan bahu. "Jimin tampak kuat dan tegar, tapi siapa yang tahu mungkin dia tertidur menangis? Kerap bertingkah seolah tidak ada yang salah, atau mungkin dia hanya benar-benar pandai berbohong."
Mendadak ada keegoisan tumbuh dalam diriku, karena selama ini, Jimin mengetahui seluk-beluk seorang Emori. Dia mengetahui semuanya, sedangkan aku mungkin perlu bersimpuh di hadapannya agar dia bercerita sedikit tentangnya. Apa itu suatu keharusan hanya untukku agar selalu disisihkan dari warita terpenting seseorang yang kucintai?
"Nona percaya pada Tuan Jimin, bukan?" Suara Hime bergemuruh mendamaikan rungu, paras awet muda di usia pertengahan 50 itu sedang berikhtiar menghibur dengan tatapan teduhnya. "Keluarga ini sudah melewati banyak hal, pasang surut kehidupan. Aku yakin apa pun yang Tuan Muda sembunyikan darimu memiliki alasan spesifik—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Quarterback
Fanfiction❝I'm truly sorry, but it's time you got to be your own quarterback.❞ ──────────── Park Jimin • Female OC © yourdraga 2020