21 - After Images

140 25 21
                                    





────────────



     ESME pernah menyampaikan padaku jika situasi menjadi problematis, aku harus mendongakkan kepala, mendaratkan pupil eksak di pelataran bumantara. Dia menyuruhku untuk mengambil waktu sebentar, rehat dari siklus elusif jagat raya sambil berceloteh bahwa aku berutang pada diri sendiri sebuah interval guna mengamati detail langit, mencari setiap imperfeksi, bagaimana mega bergulir harmonis kendati waktu tersibuk yang dikenal sebagai siang hari sedang aktif. Dia juga mengatakan tentang warna.

Biru, biru muda, dan biru tua. Sejuk, damai, kedalaman dan kekuatan.

Namun, Esme gagal menyebutkan bahwa biru juga merupakan rona kesedihan. Dianggap menenangkan dan tenteram, ya, tetapi juga dikaitkan dengan kepiluan dan sikap menyendiri. Mungkin itu sebabnya antariksa mengantarkan impresi ketenangan sekaligus ketakutan di saat yang bersamaan.

Aku yakin banyak individu yang pernah mendengar omong kosong tentang langit bukanlah batas? Yah, bagiku itu merupakan suatu idiosi. Langit nyaris tidak terjangkau. Tidak peduli secanggih apa pun teknologi, apabila antariksa tidak membiarkanmu melintasinya, kamu tidak akan kemana pun. Maksudku, jika anggana itu bukanlah batas, mengapa tahun 2011 merupakan terakhir kali astronot diluncurkan ke luar angkasa oleh NASA?

Karena memang tidak ada jaminan manusia bisa menaklukkan kolosal lazuardi tersebut. Atau semesta di balik Bumi.

Cakrawala telah menandaskan fakta absolut bahwa apa yang ada di atas sana dan di bawah sini sangat jarang memiliki sinergi selaras. Langit tidak dapat diprediksi, suatu wujud nyata dari mimpi buruk yang bermantel seperti utopia. Itulah mengapa aku hampir tidak menemukan rileksasi kala melabuhkan manik ke arah horizon. Tentu, itu indah, tetapi belum ada yang kapabel memulihkan kehampaanku.

Atau membuatku lupa atas seluruh insiden yang telah terjadi.

Aku terkekeh hambar sambil mengejek diri sendiri, jari-jemari meremat topi graduasi dalam genggaman, rungu meredam huru-hara yang terjadi di auditorium Alabama Selatan. Elaborasi panjang dan tidak masuk akal tentang langit hanya berujung untuk menyampaikan bagaimana keadaan hatiku.

Apakah aku sebegitu menyedihkan?

Sepasang iris menjalar ke arah fraksi mahasiwa dan mahasiswi di depan gedung yang baru saja mengikuti acara kelulusan, semua senyum mereka nyaris serupa, mengandung kebahagiaan dan kelegaan. Ada yang menangis, ada yang tertawa imbesil sambil menggaruk kepala seolah-olah ingin menyatakan bahwa mereka tidak menduga akan berhasil lulus. Mereka tampak siap melangkah ke masa depan sementara aku masih terpaku dengan masa lalu. Lagi.

Sudah tiga bulan sejak Jimin meninggalkan Fairhope, dan duniaku menjadi sangat sunyi. Bukannya aku ingin kekacauan terjadi, tetapi kini, semuanya hanya terlihat berbeda. Dan itu bukanlah suatu dismilaritas yang kunikmati. Karena kupikir hanya dia yang pergi.

Ada kalanya aku berkendara pulang dengan mengambil rute alternatif agar aku bisa melewati kediamannya, namun yang kutemui hanyalah sebuah papan yang mengisyaratkan bahwa bangunan tersebut menerima penghuni baru. Ya, Jimin memang memperingati perihal kepergiannya, namun dia tidak mengatakan itu termasuk seluruh keluarganya.

Aku sempat bertanya pada agen real estat yang menangani rumah keluarga Park, namun informasi yang kuterima sangat kontras dengan apa yang dia katakan di Katedral. Jimin bilang dia akan kembali, bukan? Tetapi agen itu menuturkan bahwa menurut Tuan dan Nyonya Park, mereka enggan untuk memijakkan kaki di kota ini lagi.

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang